TEORI PENYESUAIAN KERJA
Oleh :
Iman Lesmana
Dalam proses perkembangan, penyesuaian kerja dirancang
untuk memberi tempat yang dapat meningkatkan pelayanan rehabilitasi konseli yang
memiliki masalah dalam pekerjaan mereka.
Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 94) mendefinisikan
penyesuaian kerja sebagai: “Continuous and dynamic process by which a worker
seeks to achieve and maintain correspondence with a work environment”. Proses
yang dinamis dan kontinyu yang dicapai oleh pekerja untuk mencapai dan
mempertahankan kesesuaian dengan lingkungan kerja. Penyesuaian kerja
diindikasikan dengan lamanya masa vokasional dalam pekerjaan, hal ini
bersangkutan dengan masa jabatan, kesamaan konsep, performansi pekerjaan,
membedakan penyesuaian kerja dari konsep yang menyangkut seleksi karir dan
bukan performansi aktual dalam kerja.
Terdapat dua komponen pokok dalam penyesuaian kerja,
yaitu: satisfaction dan satisfactoriness. Satisfaction
menunjukkan kepuasan seseorang dengan pekerjaan yang dilakukan, lebih jauh lagi
menunjukan kepada tingkat kebutuhan individu dan syarat-syarat pekerjaan yang
harus dipenuhi. Satisfactoriness menunjukkan kepuasan atasan atas performansi
seseorang, hal ini menyangkut penilaian, biasanya oleh supervisor yang menilai
tingkat kemampuan individu dalam menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan
kepadanya. Dawis dan Lofquist memandang satisfaction sebagai indikator
utama dalam penyesuaian kerja. Karena individu harus mendapatkan kepuasan atas
pekerjan yang dilakukannya, seperti pendapatan dan jenis pekerjaan yang yang
menjadi tanggung jawabnya.
Penyesuaian kerja juga berimplikasi untuk membantu
konseli yang memiliki masalah dalam penyesuaian, seperti masalah dengan rekan
kerja, supervisor, ketidakmampuan dalam pekerjaan, dan isu-isu lainnya.
Pengukuran nilai-nilai dan bakat sangat penting dalam
memahami penyesuaian kerja individu. Untuk itu, terdapat beberapa tes yang
dapat digunakan.
1.
Bakat
(Kemampuan)
Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 90) mengemukakan bahwa
bakat (kemampuan/abilities) merupakan referensi dimensi-dimensi
keterampilan (reference dimensions for skilss). Salah satu instrumen
yang sering digunakan untuk mengukur bakat adalah General Aptitude Test
Battery (GATB) yang terdiri atas sembilan spesifikasi, antara lain:
a.
Kemampuan belajar
secara umum (General learning ability), kemampuan dan pengetahuan umum untuk belajar dengan
baik.
b.
Kemampuan bahasa (Verbal
ability), memahami kata-kata
dan kalimat. Kemampuan bahasa menurut Gardner yaitu kemampuan untuk
menghasilkan dan mengapresiasikan suara, ritme, makna kata dan karagaman
fungsi-fungsi bahasa.
c.
Kemampuan numerik (Numerical
ability), kemampuan untuk menampilkan
aritmatika dengan cepat, kemampuan dan kepekaan untuk mengamati pola-pola logis
dan numerik serta kemampuan untuk berpikir rasional dan logis.
d.
Kemampuan spasial (Spatial
ability), kemampuan untuk melihat
secara detail
pada dua pemahaman hubungan di antara bentuk
dua dimensi dan tiga dimensi atau kemampuan untuk mempersepsi dunia
ruang-visual secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut.
e.
Kemampuan persepsi
bentuk (Form perception ability), kemampuan untuk melihat secara detail gambar dua atau tiga dimensi gambar
dan untuk membuat perbedaan antara warna dan atap.
f.
Kemampuan klerikal (Clerical
ability), kemampuan untuk
melihat perbedaan antara kata-kata dan angka-angka.
g.
Koordinasi mata dan
tangan (Eye-hand coordination), kemampuan untuk mengkoordinasikan gerakan tangan dengan persepsi visual.
h.
Ketangkasan tangan (Finger
dexterity), kemampuan untuk
mennggerakkan objek kecil dengan cepat dan cermat.
i.
Ketangkasan manusia (Manual
dexterity), kemampuan untuk menggunakan tangan dan lengan tangan di dalam
memanipulasi objek dengan cepat dan cermat.
2.
Nilai-nilai
Seperti halnya kecakapan yang merangkum berbagai macam
keahlian kerja, maka nilai-nilai (values) marangkum beberapa kelompok
kebutuhan. Menurut Rounds et al. (Sharf, 1992 : 97) salah satu instrumen
untuk mengungkap nilai-nilai kerja individu adalah Minnesota Importance
Questionnaire (MIQ), yang terdiri dari aspek nilai-nilai berikut.
a.
Prestasi (Achievement). Nilai prestasi direfleksikan ke dalam kebutuhan untuk
menggunakan salah satu kemampuan dan melakukan sesuatu yang membangkitkan
kebanggaan. Achievement merupakan satu tingkatan kesuksesan khusus
karena mempelajari tugas-tugas atau tingkat tertentu.
b.
Kecocokkan (Comfort). Yang termasuk ke dalam nilai ini adalah variasi
kebutuhan yang berhubungan dengan aspek spesifik dari pekerjaan sehingga dapat menghilangkan
kejenuhan bagi para pekerja. Yang termasuk ke dalam aspek ini adalah kesibukan
dalam beraktivitas, kebebasan, perbedaan atau variasi pekerjaan, dan kompensasi.
c.
Status (Status), bagaimana seseorang dipandang oleh orang lain dan pengukuhan
merupakan fokus utama dalam nilai ini. Status sering juga diartikan sebagai posisi
seseorang di dalam suatu kelompok sosial yang berkenaan dengan kedudukan
relatif dalam struktur kelas atau kekuasaan formal dan informal yang diberikan
kepada posisi atau kedudukannya.
d.
Altruism (Altruism).
Altruisme sangat berlawanan dengan
status karena dikonsentrasikan bukan bagaimana seseorang dipandang oleh orang
lain tetapi bagaimana orang bisa menolong pekerjaan orang lain.
e.
Keamanan (Safety), lebih baik daripada dilihat dengan perasaan yang sempit
untuk menjauhkan diri dari kondisi yang membahayakan, nilai keamanan bisa
direfleksikan ke dalam order yang sangat penting.
f.
Otonomi (Autonomy: beberapa orang tidak berkonsentrasi dengan bagaimana
mereka diperlakukan oleh atasan mereka (rasa aman) tetapi menginginkan
kesempatan untuk bekerja menurut mereka sendiri. Nilai dan kebutuhan ini
mengembangkan jalan bagi konselor untuk memahami secara mendalam pengalaman
kerja seseorang.
3.
Gaya-gaya
Kepribadian
Menurut Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 100), gaya-gaya
kepribadian (personality styles) mengacu pada bagaimana individu dengan
kecakapan dan nilai-nilainya dapat mempengaruhi situasi pekerjaan mereka.
Mereka mengidentifikasi empat karakteristik dari gaya kepribadian, antara lain:
a.
celerity, mengacu kepada kecepatan pendekatan tugas atau usaha
seseorang dalam bekerja.
b.
pace, mengacu pada bagaimana seseorang menyelesaikan tugas
atau usaha seseorang dalam bekerja.
c.
rhythm, merupakan salah satu model dari percobaan atau pola usaha
seseorang.
d.
endurance, mengacu pada berapa lama seseorang dapat bertahan untuk
meneruskan pekerjaan mereka dalam suatu tugas.
Dengan demikian, mereka yang
memiliki celerity, pace,rhythm, dan endurance kerja, adalah mereka
yang terlibat dalam sejumlah aktivitas yang banyak, yang konsisten dengan
pekerjaannya, dan dapat dipercaya untuk menyelesaikan tugas.
4.
Minat-minat
Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 100) berpendapat bahwa
minat (interests) berasal dari nilai dan kemampuan yang mengekspresikan
hubungan kemampuan dengan nilai. Mereka percaya bahwa inventori minat mampu membantu
proses konseling namun tidak menjadi ciri utama di dalam penyesuaian kerja.
Akhir-akhir ini, Rounds
(1990) menganalisis data yang menilai
relativitas
kontribusi nilai kerja dan mintat pekerjaan. Kesimpulan Rounds adalah
kedua-duanya sama penting, namun nilai kerja muncul sebagai kemungkinan yang
sedikit lebih baik. Penelitian ini memberikan sokongan bagi bobot yang
diberikan oleh Dawis dan Lofquist mengenai nilai sebagai aspek penting yang
memungkinkan teciptanya kepuasan kerja.
5. Penyesuaian Masa Pensiun
Untuk membantu konseli, konselor membutuhkan dua aspek
dasar dalam membuat beberapa penilaian pada keterampilan dan kecakapan. Sama
halnya juga dengan kebutuhan dan nilai-nilai. Dengan cara mendiskusikan
beberapa aspek secara detail mengenai pekerjaan yang berlaku dimana individu
menemukan hal-hal yang dianggap berharga. Kemudian konselor dan konseli akan
mencoba untuk mengidentifikasi lingkungan mana yang selaras dengan kebutuhan
dan kecakapan konseli. Kesulitan bagi konselor yaitu terdapat relativitas
informasi organisasi yang berkenaan dengan aktivitas penyesuaian.
Sejalan dengan bertambahnya usia individu, kemampuan
fisik pun lambat laun mengalami perubahan. Perubahan ini dinilai merupakan
aspek penting untuk memberikan bantuan kepada pekerja yang pensiun. Sebagai
tambahan, kebutuhan individu akan uang harus diperhitungkan, sesuai dengan
kebutuhan pada pengharapan pertama yang terus berlanjut. Dengan pensiun
dimungkinkan individu tidak akan mampu untuk bergerak dari lokasi umum untuk
mengambil keuntungan-keuntungan dari variasi aktivitas komunikasi, hobi, dan
kerja sampingan atau pekerja sukarelawan.
Referensi
:
Uman Suherman. (2013). Bimbingan dan Konseling Karir : Sepanjang Rentang Kehidupan. Bandung
: Rizki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar