Senin, 20 April 2020

Teori Penyesuaian Kerja



TEORI PENYESUAIAN KERJA


Oleh :
Iman Lesmana


Dalam proses perkembangan, penyesuaian kerja dirancang untuk memberi tempat yang dapat meningkatkan pelayanan rehabilitasi konseli yang memiliki masalah dalam pekerjaan mereka.
Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 94) mendefinisikan penyesuaian kerja sebagai: “Continuous and dynamic process by which a worker seeks to achieve and maintain correspondence with a work environment”. Proses yang dinamis dan kontinyu yang dicapai oleh pekerja untuk mencapai dan mempertahankan kesesuaian dengan lingkungan kerja. Penyesuaian kerja diindikasikan dengan lamanya masa vokasional dalam pekerjaan, hal ini bersangkutan dengan masa jabatan, kesamaan konsep, performansi pekerjaan, membedakan penyesuaian kerja dari konsep yang menyangkut seleksi karir dan bukan performansi aktual dalam kerja.
Terdapat dua komponen pokok dalam penyesuaian kerja, yaitu: satisfaction dan satisfactoriness. Satisfaction menunjukkan kepuasan seseorang dengan pekerjaan yang dilakukan, lebih jauh lagi menunjukan kepada tingkat kebutuhan individu dan syarat-syarat pekerjaan yang harus dipenuhi. Satisfactoriness menunjukkan kepuasan atasan atas performansi seseorang, hal ini menyangkut penilaian, biasanya oleh supervisor yang menilai tingkat kemampuan individu dalam menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Dawis dan Lofquist memandang satisfaction sebagai indikator utama dalam penyesuaian kerja. Karena individu harus mendapatkan kepuasan atas pekerjan yang dilakukannya, seperti pendapatan dan jenis pekerjaan yang yang menjadi tanggung jawabnya.
Penyesuaian kerja juga berimplikasi untuk membantu konseli yang memiliki masalah dalam penyesuaian, seperti masalah dengan rekan kerja, supervisor, ketidakmampuan dalam pekerjaan, dan isu-isu lainnya.
Pengukuran nilai-nilai dan bakat sangat penting dalam memahami penyesuaian kerja individu. Untuk itu, terdapat beberapa tes yang dapat digunakan.

1.      Bakat (Kemampuan)
Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 90) mengemukakan bahwa bakat (kemampuan/abilities) merupakan referensi dimensi-dimensi keterampilan (reference dimensions for skilss). Salah satu instrumen yang sering digunakan untuk mengukur bakat adalah General Aptitude Test Battery (GATB) yang terdiri atas sembilan spesifikasi, antara lain:
a.      Kemampuan belajar secara umum (General learning ability), kemampuan dan pengetahuan umum untuk belajar dengan baik.
b.      Kemampuan bahasa (Verbal ability), memahami kata-kata dan kalimat. Kemampuan bahasa menurut Gardner yaitu kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan suara, ritme, makna kata dan karagaman fungsi-fungsi bahasa.
c.       Kemampuan numerik (Numerical ability), kemampuan untuk menampilkan aritmatika dengan cepat, kemampuan dan kepekaan untuk mengamati pola-pola logis dan numerik serta kemampuan untuk berpikir rasional dan logis.
d.     Kemampuan spasial (Spatial ability), kemampuan untuk  melihat  secara  detail
pada dua pemahaman hubungan di antara bentuk dua dimensi dan tiga dimensi atau kemampuan untuk mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut.
e.      Kemampuan persepsi bentuk (Form perception ability), kemampuan untuk melihat secara detail gambar dua atau tiga dimensi gambar dan untuk membuat perbedaan antara warna dan atap.
f.        Kemampuan klerikal (Clerical ability), kemampuan untuk melihat perbedaan antara kata-kata dan angka-angka.
g.      Koordinasi mata dan tangan (Eye-hand coordination), kemampuan untuk mengkoordinasikan gerakan tangan dengan persepsi visual.
h.      Ketangkasan tangan (Finger dexterity), kemampuan untuk mennggerakkan objek kecil dengan cepat dan cermat.
i.        Ketangkasan manusia (Manual dexterity), kemampuan untuk menggunakan tangan dan lengan tangan di dalam memanipulasi objek dengan cepat dan cermat.

2.      Nilai-nilai
Seperti halnya kecakapan yang merangkum berbagai macam keahlian kerja, maka nilai-nilai (values) marangkum beberapa kelompok kebutuhan. Menurut Rounds et al. (Sharf, 1992 : 97) salah satu instrumen untuk mengungkap nilai-nilai kerja individu adalah Minnesota Importance Questionnaire (MIQ), yang terdiri dari aspek nilai-nilai berikut.
a.      Prestasi (Achievement). Nilai prestasi direfleksikan ke dalam kebutuhan untuk menggunakan salah satu kemampuan dan melakukan sesuatu yang membangkitkan kebanggaan. Achievement merupakan satu tingkatan kesuksesan khusus karena mempelajari tugas-tugas atau tingkat tertentu.
b.      Kecocokkan (Comfort). Yang termasuk ke dalam nilai ini adalah variasi kebutuhan yang berhubungan dengan aspek spesifik dari pekerjaan sehingga dapat menghilangkan kejenuhan bagi para pekerja. Yang termasuk ke dalam aspek ini adalah kesibukan dalam beraktivitas, kebebasan, perbedaan atau variasi pekerjaan, dan kompensasi.
c.       Status (Status), bagaimana seseorang dipandang oleh orang lain dan pengukuhan merupakan fokus utama dalam nilai ini. Status sering juga diartikan sebagai posisi seseorang di dalam suatu kelompok sosial yang berkenaan dengan kedudukan relatif dalam struktur kelas atau kekuasaan formal dan informal yang diberikan kepada posisi atau kedudukannya.
d.     Altruism (Altruism). Altruisme sangat berlawanan dengan status karena dikonsentrasikan bukan bagaimana seseorang dipandang oleh orang lain tetapi bagaimana orang bisa menolong pekerjaan orang lain.
e.      Keamanan (Safety), lebih baik daripada dilihat dengan perasaan yang sempit untuk menjauhkan diri dari kondisi yang membahayakan, nilai keamanan bisa direfleksikan ke dalam order yang sangat penting.
f.        Otonomi (Autonomy: beberapa orang tidak berkonsentrasi dengan bagaimana mereka diperlakukan oleh atasan mereka (rasa aman) tetapi menginginkan kesempatan untuk bekerja menurut mereka sendiri. Nilai dan kebutuhan ini mengembangkan jalan bagi konselor untuk memahami secara mendalam pengalaman kerja seseorang.



3.      Gaya-gaya Kepribadian
Menurut Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 100), gaya-gaya kepribadian (personality styles) mengacu pada bagaimana individu dengan kecakapan dan nilai-nilainya dapat mempengaruhi situasi pekerjaan mereka. Mereka mengidentifikasi empat karakteristik dari gaya kepribadian, antara lain:
a.      celerity, mengacu kepada kecepatan pendekatan tugas atau usaha seseorang dalam bekerja.
b.      pace, mengacu pada bagaimana seseorang menyelesaikan tugas atau usaha seseorang dalam bekerja.
c.       rhythm, merupakan salah satu model dari percobaan atau pola usaha seseorang.
d.     endurance, mengacu pada berapa lama seseorang dapat bertahan untuk meneruskan pekerjaan mereka dalam suatu tugas.
            Dengan demikian, mereka yang memiliki celerity, pace,rhythm, dan endurance kerja, adalah mereka yang terlibat dalam sejumlah aktivitas yang banyak, yang konsisten dengan pekerjaannya, dan dapat dipercaya untuk menyelesaikan tugas.

4.      Minat-minat
Dawis dan Lofquist (Sharf, 1992 : 100) berpendapat bahwa minat (interests) berasal dari nilai dan kemampuan yang mengekspresikan hubungan kemampuan dengan nilai. Mereka percaya bahwa inventori minat mampu membantu proses konseling namun tidak menjadi ciri utama di dalam penyesuaian kerja.
Akhir-akhir   ini,   Rounds   (1990)    menganalisis    data    yang    menilai
relativitas kontribusi nilai kerja dan mintat pekerjaan. Kesimpulan Rounds adalah kedua-duanya sama penting, namun nilai kerja muncul sebagai kemungkinan yang sedikit lebih baik. Penelitian ini memberikan sokongan bagi bobot yang diberikan oleh Dawis dan Lofquist mengenai nilai sebagai aspek penting yang memungkinkan teciptanya kepuasan kerja.

5.      Penyesuaian Masa Pensiun
Untuk membantu konseli, konselor membutuhkan dua aspek dasar dalam membuat beberapa penilaian pada keterampilan dan kecakapan. Sama halnya juga dengan kebutuhan dan nilai-nilai. Dengan cara mendiskusikan beberapa aspek secara detail mengenai pekerjaan yang berlaku dimana individu menemukan hal-hal yang dianggap berharga. Kemudian konselor dan konseli akan mencoba untuk mengidentifikasi lingkungan mana yang selaras dengan kebutuhan dan kecakapan konseli. Kesulitan bagi konselor yaitu terdapat relativitas informasi organisasi yang berkenaan dengan aktivitas penyesuaian.
Sejalan dengan bertambahnya usia individu, kemampuan fisik pun lambat laun mengalami perubahan. Perubahan ini dinilai merupakan aspek penting untuk memberikan bantuan kepada pekerja yang pensiun. Sebagai tambahan, kebutuhan individu akan uang harus diperhitungkan, sesuai dengan kebutuhan pada pengharapan pertama yang terus berlanjut. Dengan pensiun dimungkinkan individu tidak akan mampu untuk bergerak dari lokasi umum untuk mengambil keuntungan-keuntungan dari variasi aktivitas komunikasi, hobi, dan kerja sampingan atau pekerja sukarelawan.

Referensi  :
Uman Suherman. (2013). Bimbingan dan Konseling Karir : Sepanjang Rentang Kehidupan. Bandung : Rizki Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...