The Role of Teachers in Building
Societal Peace
How is The Kurdish Issue
Projected Onto School ?
Oleh :
Iman Lesmana
Proyek yang dilakukan oleh Helsinki Citizens' Assembly
berjudul “Mendorong dan
Memberdayakan Guru sebagai Aktor di Perdamaian dan Demokratisasi”. Tujuan proyek
ini adalah untuk menganalisis lingkungan traumatis di Turki, yang diciptakan
melalu dekade kekerasan dan konflik dari sudut pandang pendidikan,
mengembangkan rancangan kebijakan sebagai upaya perubahan, dan mendukung
keterampilan guru dan calon guru.
Sebagai bagian dari proyek, penulis menyelenggarakan
seminar dan Workshop di Muş, Van dan Istanbul, yang ikut berpartisipasi adalah
guru dan calon guru SD. . Program ini ditujukan untuk memberikan pendidik bekal
untuk menghadapi tantangan yang berasal dari masalah suku Kurd yang
mempengaruhi bidang pendidikan serta setiap aspek kehidupan lainnya. Dengan
program ini pula, penulis ingin menginformasikan dan mengilhami guru dengan
keterampilan dan pendekatan yang bisa digunakan untuk memberantas diskriminasi
di dalam kelas dan dan berlaku demokratis dalam mengelola kelas. Program ini juga
berperan dalam pelatihan guru-guru untuk
menciptakan lingkungan kelas yang kondusif sambil guru mengajarkan
masalah-masalah yang bertentangan.
Artikel ini berjudul peran guru dalam bangunan
masyarakat damai/ bagaimana masalah Suku Kurdi diproyeksikan ke sekolah? Buku
ini juga memberikan saran dikembangkan secara khusus untuk memberdayakan guru
yang bisa memainkan peranan yang penting dalam membangun perdamaian sosial.
Guru, orang tua, dan calon guru mengungkapkan pendapat dan pengalaman mereka
pada permasalahan dan konflik di Kurdi dan diproyeksikan ke pengaturan sekolah
dan kehidupan sehari-hari.
Rincian Isi Artikel
BAB 1 :
"Membangun pendidikan perdamaian dan guru, menyajikan gambaran tentang
pendekatan dan konsep "perdamaian" dan hubungan antara perdamaian dan
pendidikan.
BAB 2 : Bab 2
menguraikan tentang proyeksi masalah Suku Kurdi ke bidang pendidikan.
BAB 3 : Bab
terakhir membahas tentang “Proposal Kebijakan” yang ditujukan untuk menlindungi
anak-anak dalam memperoleh hak pendidikan di zona kekerasan atau konflik,
pendekatan dan reformasi yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum,
pendidikan dan program pelatihan guru. proposal kebijakan di sajikan dalam
empat topik yaitu:
1.
Budaya Sekolah dan Iklim Sekolah;
2.
Pelatihan Guru dan Profesi Mengajar;
3.
Pendidikan Ibu
4.
Wilayah, demokrasi, dan sekolah.
Pendahuluan
Republik Turki telah cukup lama berada dalam proses
sejarah kekerasan serta konflik fisik dan sosial. Ketika konflik fisik tidak
dalam keadaan "Intensitas perang rendah", hal yang paling penting
adalah tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan dalam bahasa ibu, kebebasan
untuk menggunakan bahasa ibu dalam domain publik, dan hak-hak warga negara yang
sama.
Mendorong dan memberdayakan guru sebagai aktor di
perdamaian dan demokratisasi, harus dimulai dengan kepercayaan dan harapan
bahwa untuk mencapai resolusi dalam masalah Kurdi-Turki, secara paralel
mempertimbangkan keputusan kebijakan dibuat pemerintah, lembaga-lembaga
pendidikan yang memiliki peran penting dalam kehidupan orang-orang muda, serta
guru-guru yang merupakan salah satu komponen utama dari lembaga ini, agar dapat
berkontribusi terhadap pembentukan perdamaian.
Pendidikan dan sekolah tidak dapat dipahami dan
ditetapkan dengan hanya praktik pedagogis, ini adalah tugas ilmu pendidikan untuk
menganalisis hubungan antara pendidikan dan sosial, serta untuk mengungkapkan
praktik yang tidak adil, membawa mereka ke arah yang lebih baik menuju solusi.
Guru harus memahami kondisi siswa di zona konflik,
berempati, dan untuk membuat lingkungan pedagogis sekolah yang menawarkan
proses pendidikan demokrasi sehingga para siswa dapat menampilkan dan
mengembangkan diri. Aspek yang menjadi perhatian khusus adalah pemberdayaan
guru dalam hal apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh lakukan ketika
mereka beinteraksi di kelas kelas dengan anak-anak yang telah hidup dalam
lingkungan berkonflik.
Akar masalah yang terjadi hampir sama saat negara
bangsa Turki pertama kali didirikan. Proses selama penindasan politik yang
dijalankan, mengadopsi penyeragaman pendidikan, memaksakan unilingualisme dan mengabaikan bahasa dan budaya kesetaraan.
Pembangunan
Perdamaian, Pendidikan, dan Guru-guru
Berbicara tentang proses perdamaian, banyak hal
tersirat yang mengarah pada kondisi tersebut, seperti konflik bersenjata,
perang atau perselisihan. Ketika melihat masalah Kurdi Turki sebagai salah satu
hal penting yang saling koeksistensi dan pemikiran tentang proyeksi yang
berdasarkan pendidikan, bisa dikatakan saling mengakui akan keberadaan dan
ekspresi hormat yang berbeda identitas dan pendapat, tanpa pengecualian atau
penghinaan, serta jaminan sama dan demokrasi partisipasi dalam masyarakat
adalah prasyarat perdamaian. Sulit untuk mengatakan kondisi saat ini sesuai
dengan prapersyaratan berikut. Seperti yang terlihat pada survei buku
(Çotuksöken, Erzan & Silier, 2003; Tüzün, 2009) bahwa keterasingan dari
sebagian besar kelompok etnis di negara ini, menggambarkan mereka sebagai musuh
internal, selanjutnya memahami perbedaan sebagai ancaman kepada persatuan dan
pengkondisian mereka untuk mencocokkan preferensi dominan unsur masyarakat
dalam proses pembangunan bangsa tampaknya tidak mengarah pada perdamaian.
Selain itu, sebuah narasi sejarah yang memperkuat prasangka dan proyeksi sikap
ini, terhadap pendidikan dan kehidupan sosial tidak melayani perdamaian dengan
baik.
Walaupun menulis sebagian meningkat sebagai hasil dari
studi kritis dalam beberapa tahun terakhir, ada masih banyak yang harus
dilakukan. Semua sekolah dasar dan menengah di Turki menggunakan buku sejarah
yang sama yang telah disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Tidak
peduli isi buku-buku, proses pemahaman dan internalisasi murid yang pergi yang
dipandu oleh guru dan sangat penting untuk memberdayakan guru sebagai aktor
yang bisa memiliki posisi yang kritis dalam membangun perdamaian.
Darimana harus
memulai membangun perdamaian?
Ada dua pendekatan utama untuk sebuah diskusi tentang
konflik/ perdamaian sosial. Pertama, didasarkan pada gagasan bahwa, jika salah
satu bisa meningkatkan individu dengan perilaku, cara dan kemampuan yang
mengarah pada perdamaian, maka konflik sosial akan diselesaikan. Moto "perdamaian dimulai dengan
individu" melambangkan
pendekatan ini.
Kedua melihat konteks sosial-politik, yang terjadi
konflik sebagai penentu dan berpendapat bahwa perdamaian sosial tidak bisa
lakukan kecuali oleh kebijakan nasional, transnasional dan sikap kritis aktor
yang meningkat konflik berubah. Beberapa program pendidikan perdamaian dikritik
dengan argumen bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh kepentingan otoritas
hegemonik atau kekuasaan lokus.
Meskipun ada argumen yang memuji kedua pendekatan itu,
dalam hal ini berpendapat bahwa kurangnya kolaborasi dan komunikasi antara dua
pendekatan menjadi hambatan kedua pendekatan untuk melengkapi satu sama lain
dan bahwa ini adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Titik awal proses ini
adalah menemukan landasan bersama dan bergerak menuju arah perdamaian sosial.
Proyek "Memberdayakan guru sebagai aktor dalam
proses perdamaian" dikembangkan dengan keyakinan dan harapan bahwa guru
bisa membuat kontribusi penting untuk perdamaian sosial, dengan bantuan dari
satu sama lain, masyarakat sipil dan pengaturan kelembagaan. Peran penting ini
bisa melengkapi keputusan kebijakan negara yang membantu menyelesaikan masalah
Kurdi Turki. Pentingnya dukungan dan kontribusi guru terhadap proses
perdamaian, menegaskan bahwa bagian dari tanggung jawab terletak pada lembaga-lembaga
pendidikan dan negara dan akan bermanfaat untuk mengembangkan rekomendasi
tentang bagaimana bantuan ini bisa mengambil peran. Jika skema rintisan
membuahkan hasil, hal tersebut berpotensi mendorong aktor politik untuk
mengambil tindakan. Sebuah studi serupa tentang diskriminasi dilaksanakan
beberapa saat lalu oleh tim dari Universitas Bilgi Istanbul dengan kontribusi
dari guru-guru yang bekerja di lapangan. Hasilnya diterbitkan pada sebuah buku,
Ayrımcılık: Örnek Ders Uygulamaları (Çayır & Alan, 2012).
Dr. Gavriel Salomon (2002) mengatakan bahwa pendidikan
perdamaian memiliki arti yang berbeda bagi individu. Dalam beberapa kasus,
pendidikan perdamaian dapat merubah seseorang bagaimana cara melihat masalah
atau pengaturan intelektual. Tujuan mendasar pendidikan perdamaian adalah untuk
membangun rasa saling pengertian, rasa hormat dan toleransi antar sesama
(Oppenheimer, Bar-Tal & Raviv, 1999) dan kasus di Irlandia Utara, Bosnia
dan Israel sering dikutip sebagai contoh (Cairns & Hewstone, 2002). Dalam
kasus lain pendidikan perdamaian bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
resolusi konflik dan pembentukan sikap anti kekerasan. Program sekolah seperti
resolusi konflik dan mediasi teman bisa dijadikan contoh. Sebagian besar di
dunia ketiga negara advokasi hak asasi manusia mengambil peran utama, tapi
Salomon (2002) menyebutkan bahwa program-program pendidikan perdamaian negara
di negara-negara yang relatif maju bisa mencakup perlucutan senjata, kesadaran
lingkungan dan budaya perdamaian (p. 4).
Workshop proyek untuk guru dan calon guru diadakan dua
kali dalam Van, Muş dan Istanbul pada musim gugur 2012 dan musim semi 2013.
Sesi dimulai dengan peserta menceritakan pendapat mereka pada dan evaluasi
proyeksi konflik di seting sekolah dan dilanjutkan dengan membangun kesadaran
rahasia kurikulum, diskriminasi, hak-hak dasar, individu dan sosial
sakit/trauma, penerimaan dan evaluasi siswa.
Lokakarya juga termasuk kegiatan yang akan
meningkatkan keterampilan yang peserta mengungkapkan kebutuhan selama sesi persiapan.
Kegiatan ini berfokus pada topik-topik seperti administrasi demoratik kelas,
berpikir kritis, keterampilan komunikasi, dan diskusi tentang isu-isu yang
menantang di kelas. Program-program lokakarya yang disajikan dalam Annex 1-6.
Lokakarya yang mampu membawa guru-guru dan calon guru dengan pandangan yang
berbeda dan pendekatan bersama dalam suasana yang memfasilitasi dialog
konstruktif. Lokakarya juga memungkinkan diskusi tentang isu-isu yang terletak
pada persimpangan masalah Suku Kurdi dan bidang pendidikan. Hal ini tidak
mungkin untuk memfasilitasi diskusi ini, yang dianggap tabu, baik pada
pelatihan guru di Fakultas Pendidikan, atau pelatihan in-service yang disampaikan oleh Departemen Pendidikan Nasional
atau NGOs.
Sementara Salomon (2002) menunjukkan sebuah
klasifikasi yang dapat mentransfer pengalaman dalam pendidikan perdamaian. Hal
tersebut menegaskan bahwa pendidikan perdamaian zona konflik dapat
terselesaikan. Program harus memperhitungkan interaksi yang mengalir dari
lapisan dibandingkan dengan skala kecil pendidikan perdamaian di zona konflik
dimana isu-isu yang tidak dimiliki belum menembus jauh ke dalam memori
kolektif. Ini akan lebih cocok untuk memikirkan masalah Suku Kurdi Turki dalam
kategori terselesaikan. Azar (1990) mengatakan bahwa persaingan etnis/
Nasional/ keagamaan yang saling terkait dengan pengembangan tidak seimbang dan
keputusasaan mengenai masa depan, yang tampaknya menjadi sebuah definisi yang
tepat untuk masalah Suku Kurdi Turki yang lama.
Salomon (2002) mengklasifikasikan hambatan yang
mungkin akan terjadi dalam menghadapi program pembangunan perdamaian, berkaitan
dengan tiga aspek masalah: pertama, konflik bukan antara orang tapi sosial dan
antara masyarakat. Kedua, ada sebuah memori kolektif pahit dan cerita kolektif mengenai sejarah panjang dari masalah. Dan
akhirnya, konflik yang bersarang di dalam kesenjangan (pp. 7-8). Sementara
masalah konflik Kurdi Turki didasari oleh identitas etnis, ada isu-isu yang
berhubungan dengan pendidikan dalam bahasa ibu atau hak terhadap pelayanan
sosial, keduanya bisa dilihat melalui perspektif hak asasi manusia dan hak-hak
kewarganegaraan, serta ketidaksetaraan ekonomi antara daerah.
Cerita pahit sejarah konflik yang tertanam dalam
ingatan masyarakat, termasuk guru dan orangtua yang terjadi di Kurdi pada
tingkat yang paling intens, yang disampaikan antar generasi adalah tentang desa
yang dievakuasi secara paksa dan kemudian dibakar, penggerebekan rumah, memaksa
migrasi dan kemiskinan, kondisi yang sulit di tempat relokasi, penghinaan dan
diskriminasi, sedang diperlakukan sebagai teroris karena latar belakang etnik,
penyiksaan terhadap mitra yang erat di bawah hak asuh, tidak terpenuhi mengejar
keadilan, dekat rekan yang bergabung dengan para militan yang kadang-kadang
kembali dalam peti mati atau tidak pernah terdengar lagi, trauma anak-anak yang
terpisah dari sekolah karena mereka tidak dapat menemukan apa-apa dengan budaya
mereka di sekolah, pengaturan pendidikan yang berbicara dengan bahasa ibu
dianiaya, anak-anak takut karena latar belakang etnis keluarga mereka akan
datang di bawah perhatian (di kota besar, tujuan dari migrasi), serta orang tua
takut pergi ke sekolah.
Perubahan yang paling signifikan dari tahun sebelumnya
mengenai pendidikan di Kurdi adalah bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah
Republik Turki, Kurdi bisa menjadi bagian dari kurikulum sebagai mata kuliah di
sekolah mana ada permintaan yang cukup.
Asan
(2007) merangkum saran UNESCO untuk transformasi ke budaya perdamaian:
1.
budaya
perdamaian harus terdiri dari budaya interaksi sosial dan berbagi, berdasarkan
prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan demokrasi, toleransi dan solidaritas;
2.
budaya
yang menolak kekerasan, upaya untuk mencegah konflik dengan mengatasi akar
mereka dan untuk memecahkan masalah melalui dialog dan negosiasi;
3.
budaya
yang menjamin setiap orang latihan penuh dari semua hak dan sarana untuk
berpartisipasi penuh dalam pembangunan endogen masyarakat mereka;
4.
Pelaksanaan
proyek semacam itu membutuhkan kerjasama pendidikan, budaya, komunikasi dan
ilmu sosial. (CEV. Asan, 2007, s. 169).
Bekerja
pada budaya damai, de Rivera (2004) menyatakan bahwa ada empat dimensi diukur
dari budaya perdamaian. Yang pertama adalah apa de Rivera panggilan
pengembangan liberal, diukur melalui kebebasan pers, produk domestik bruto,
harapan hidup rata-rata, demokrasi, melek huruf dan status perempuan dalam
kehidupan sosial. Dimensi kedua adalah ketimpangan, berdasarkan koefisien gini,
yang memberikan ide tentang ketimpangan pendapatan, di samping beberapa metrik
hak asasi manusia. Yang ketiga dimensi anti kekerasan, yang memperhitungkan
pengeluaran pertahanan account dan rasio penahanan; dan yang terakhir adalah
dimensi fundamental yang memperhitungkan anggaran untuk pendidikan, kesempatan
yang diberikan kepada pengungsi dan rasio keterwakilan perempuan di parlemen.
Apakah
studi dan model pendidikan yang berpusat pada konsep budaya damai memberikan
cukup berat untuk daya ketimpangan, hubungan kekuasaan, konfrontasi dan
keadilan sosial bagi konflik sosial adalah isu kontroversial. Gur-Ze'ev (2001)
berpikir appproach dari UNESCO (1995) deklarasi untuk budaya damai didasarkan
pada perdamaian negatif (mendefinisikan perdamaian sebagai non-konflik) dan
mengkritik karena deklarasi memberikan ide, seolah-olah mengajarkan
keterampilan resolusi konflik dapat menyebabkan mengatasi ketidakadilan sosial.
Dalam
artikel berjudul "Reclaiming Kritis Pendidikan Perdamaian", Bajaj
(2008) membela sebuah "pendidikan kritis perdamaian", yang
memperhatikan kesenjangan struktural dan yang menargetkan penelitian empiris
pemahaman/ mereproduksi pengetahuan lokal peserta menjadi subyek transformatif
adalah pusat. Pendekatan ini mengingatkan Pedagogi Freire Kaum Tertindas (1972)
dan Frankfurt School. Galtung (1969) seorang ahli teori pendidikan perdamaian
penting dalam 1970, juga menyebutkan bahwa ketidakadilan sosial dan ekonomis
merupakan halangan untuk total damai. Kami juga berpikir bahwa perdamaian yang
terbatas non-kekerasan dan yang tidak menjawab tuntutan keadilan sosial tidak
berkelanjutan dan konflik tidak bisa diselesaikan dengan pelatihan yang
mengabaikan hubungan kekuasaan yang mendustakan konflik. Penelitian ini
menyajikan rekomendasi tentang bagaimana mendukung guru sebagai aktor
pembangunan perdamaian dalam konflik Kurdi / Turki dalam kerangka demokrasi,
partisipasi yang setara dan keadilan sosial. Temuan dari penelitian lapangan
dan rekomendasi yang dihasilkan disajikan dalam bab berikut.
Pembentukan dan Pemeliharaan
"Pendidikan Nasional" di Turki
Nasionalisasi
pendidikan adalah proyek yang dimulai dengan berdirinya Republik. Sebagaimana
dinyatakan dalam banyak studi yang berbeda (Keyman, 2013; Kaplan, 1999; Ahmad,
2006; Inal, 2004; Aydın, 1998; Ustel 2004) ini adalah proyek rekayasa sosial
menargetkan modernisasi kehidupan sosial, politik dan budaya. Dalam konteks
ini, kita melihat bahwa pendidikan di Turki telah dilembagakan sebagai bagian
dari proyek modernisasi Kemalis , mulai dari era Republik awal. Selama proses
legitimasi dan ketekunan dari negara, yang diklaim modern dan reformis,
pendidikan berfungsi praktis sebagai refleksi dari keinginan untuk menyatukan
individu dengan masyarakat melalui bidang disiplin dan otoriter seperti
sekolah.
Seperti
yang ditargetkan oleh proyek modernisasi, pendidikan telah diberikan peran
penting dalam transformasi masyarakat menjadi masyarakat nasional. Melalui
peluang yang disediakan oleh pendidikan, masyarakat yang homogen sebagai bagian
dari visi Kemalis dan terwujud sebagai ego nasional, akan bertindak dan
mematuhi imajinasi faktual ini. Sementara negara baru diciptakan dengan praktik
ideologi Kemalis, "identitas negara dan warga yang membawanya dalam
keadaan yang mulai tumpang tindih" (Suavi Aydın, 1998, s. 22). Orang-orang
yang mengadopsi identitas baru ini yang dibayangkan oleh ideologi Kemalis
sebagai campuran standar bersatu di sekitar "tujuan bersama",
sekelompok orang yang tidak dapat dipisahkan, identik, dan saling melengkapi.
Sepanjang proses ini, terutama lembaga dimonopoli oleh negara telah sangat
meningkatkan fungsi dari struktur kekuasaan, dan mengejar ideologi Kemalis
tentang fungsi telah dipraktekkan melalui pendidikan. Tidak hanya anak-anak dan
remaja, tetapi juga seluruh penduduk tunduk pada pendidikan. Modernis dan
organisasi positivis Republik dan ideologi pendidikan yang dikembangkan di
sekitarnya mengadopsi metodologi politik yang akan meminimalkan peluang untuk
ketahanan di semua bidang kehidupan sehari-hari, melalui bantuan berbagai
mekanisme yang komprehensif. Negara mencoba untuk membangun sistem generasi
pengetahuan sendiri dan realitas rezim sendiri dengan mekanisme seperti
Reformasi Alphabet. Pelembagaan pendidikan sebagai alat mendamaikan
mengakibatkan identitas yang berbeda 'pengecualian oleh ideologi resmi negara
(Kurdi, Alevis, orang LGBT) berpantang dari mengekspresikan perbedaan mereka,
untuk menjadi bagian dari sistem.
Masalah Kurdi dan Pendidikan
Ada beberapa penelitian dan studi yang
telah menganalisis hubungan masalah Kurdi dan pendidikan, berkaitan dengan
konteks yang berbeda, melalui variabel kualitatif dan kuantitatif yang berbeda.
Ada studi lebih dan lebih menangkap penyeragaman itu, diskriminasi, nasionalis,
rasis, militeris, seksis, konservatif, semangat elitis dari sistem pendidikan
Turki, melalui berbagai perspektif, konteks, periode dan daerah. Ini
diskriminatif, penyeragaman, dan konservatif pola pikir mengepung semua domain
publik dan swasta sama, melalui sarana negara. Oleh karena itu, tidak mungkin
untuk menganalisis sistem pendidikan tanpa mempertimbangkan keterkaitan
sekolah, struktur kekuasaan, masyarakat, dan individu. Hal ini juga tidak
mungkin untuk berbicara tentang pendidikan tanpa memperhitungkan struktur yang
telah dibuat antara jaring tersebut hubungan. Sementara beberapa penelitian
sebelumnya menggaris bawahi fakta-fakta ini, terlihat bahwa baik secara sadar
atau tidak, beberapa studi mengabaikan keterkaitan tersebut.
Sebagai berlapis-lapis, masalah yang
kompleks, proyeksi isu Kurdi itu ke sistem pendidikan menciptakan efek ganda.
Sementara keberadaan isu Kurdi mempengaruhi pengetahuan diproduksi dan
diselenggarakan oleh sistem pendidikan, dalam banyak hal, pengetahuan yang
dihasilkan dan diselenggarakan oleh sistem yang memelihara keberadaan isu
Kurdi. Sampai saat ini, sistem pendidikan nasional telah dinonaktifkan oleh
politik penolakan dan diasimilasi, sehingga mustahil bagi orang Kurdi ada dalam
mekanisme ini tanpa menyembunyikan identitas etnis mereka. Arayıcı (1999)
menyatakan ini dengan jelas:
Di
17 provinsi timur dan desa-desa di mana orang Kurdi yang kurang pendidikan
dalam bahasa ibu, ada perbedaan besar antara kota dan desa, dan antara
perempuan dan laki-laki, dalam hal penduduk (usia 6 dan di atas) tingkat melek
huruf di "Bahasa resmi". Alasan utama di balik ini adalah sumber daya
yang memadai sekolah dan guru, dan yang paling penting dari semua, fakta bahwa
orang-orang yang tinggal di sana dilarang berpendidikan dalam bahasa ibu dan
budaya mereka sendiri, serta selama bertahun-tahun lamanya mereka telah
dikenakan asimilasi dan politik rasis.
Demikian
pula, Isik dan Arslan (2012), membahas secara rinci bagaimana pesantren di
kota-kota Kurdi berfungsi sebagai lembaga asimilasi. Spasial (kurungan mirip
dengan penjara) dan pendidikan-bahasa Model organisasi (tengah-Turki) serta
penyebaran regional dari pesantren (pada 2008, lebih dari setengah dari YİBOs
berfungsi di kota-kota Kurdi) mungkin dianggap sebagai indikator politik
asimilasi.
Namun
demikian, popularisation praktek resistance jangka panjang mencegah
keberhasilan politik berdasarkan penolakan identitas yang berbeda. Perkembangan
terakhir dari keberadaan Kurdi diajarkan di sekolah sebagai kursus elektif
menunjukkan perubahan positif dalam sikap politik negara. Sementara negara
menerima keberadaan Kurdi, hampir tidak mungkin untuk mengatakan pengecualian
yang diberantas. Seperti Saracoglu (2011) menyatakan, sekarang kasus "tidak
termasuk dengan pengakuan". Tidak diragukan lagi, pengakuan ini sebagian
besar tergantung pada kategorisasi Kurdi ke sekelompok orang dengan beberapa
kualitas yang dikaitkan dengan mereka. Karena bahasa yang dihasilkan oleh kelas
menengah "sebagian besar diungkapkan melalui retorika penghinaan, dalam
prakteknya, proses pengakuan tidak dapat dianggap sebagai bebas dari
pengecualian" (72).
Konflik Sosial, Konfrontasi,
Pendidikan, dan Guru
Pendidikan untuk perdamaian masyarakat adalah
subjek yang banyak berpikir dan menulis tentang baru-baru ini. Teks tentang
masalah ini biasanya memberikan pembahasan tuntutan dan persyaratan selain
rekomendasi berdasarkan hak asasi manusia (Smith, 2006; Davies, 2010; Sancar,
2010). Program yang dikembangkan dalam bidang pendidikan memiliki potensi untuk
berkontribusi besar terhadap upaya perdamaian. Namun demikian tidak boleh lupa
bahwa itu tidak cukup untuk mengatasi memori kolektif mengenai kompleks, sistematis
disensor, atau bahkan resmi berkerut masalah, dengan proyek-proyek dan
program-program yang dapat dihadiri oleh sekelompok orang yang terbatas.
Studi
ini berurusan dengan peran guru dan pendidikan public. Hal ini penting dan
perlu untuk pembentukan perdamaian, namun mereka tetap tidak cukup dan harus
didukung oleh lembaga-lembaga sosial lainnya dan praktek.
Dalam
konteks ini, kami ingin menarik perhatian pada pentingnya aspek berikut dalam
proses terkemuka dari konflik fisik terhadap resolusi politik dan sosial:
kebenaran dan keadilan komisi, media independen, partisipasi pihak yang rusak
dalam proses, pengacara independen yang baik dilengkapi di bidang filsafat HAM,
diskusi dan perubahan hukum dan peraturan seperti kode sipil atau hukum pidana
yang tidak jelas dan terbuka untuk penyalahgunaan, pelebaran hak tentang
kebebasan berekspresi, serta persiapan lingkungan yang diperlukan untuk
pendidikan dan kerja yang deratis dalam bidang akademik dan peneliti.
Sistem Pelatihan Guru dan in-service Pelatihan
Ada 869.630 guru yang berada di staf permanen
lembaga pemerintah atau swasta. Jumlah ini tidak termasuk baik 300.000 guru
yang belum ditugaskan untuk posting belum, atau 70.000 guru baru ditetapkan,
guru yang baru saja menjadi staf tetap menjadi guru kontrak, atau guru yang
bekerja di lembaga pelatihan swasta. Ketika ditambahkan bersama-sama, ini
membuat kelompok lebih dari satu juta orang. Mengingat peningkatan tahunan di
nomor ini, jelas untuk melihat bahwa kelompok ini memiliki potensi untuk
mengubah seluruh populasi.
Khusus
guru dari sekolah dasar atau menengah serta calon guru dari fakultas pendidikan
universities berbeda mulai berpartisipasi dalam lokakarya proyek ini. Ini juga
ditargetkan untuk memfasilitasi berbagi pengalaman antara guru dan calon guru,
memperkaya lokakarya dan memperluas ruang lingkup proyek. Sambil memfokuskan
pada guru keterampilan mengenai perdamaian dan rekonsiliasi, metodologi ini
membawa bersama-sama siswa dari fakultas pendidikan dengan guru-guru yang telah
dilatih dalam program yang berbeda juga disediakan sarana untuk membahas guru
program pelatihan. Sedangkan penelitian lapangan tidak mencakup calon guru,
selama wawancara mendalam, guru sering menyatakan bahwa sistem pelatihan guru
tidak cukup dalam memberikan keterampilan untuk menangani masalah berdasarkan
konflik sosial dan tidak memberikan pelatihan pedagogis antar budaya. Selain
itu, para guru yang diwawancarai menyatakan bahwa program pelatihan in-service
dari Kementerian Pendidikan Nasional tidak cukup dan jauh dari memberikan
keterampilan yang akan memberdayakan mereka dalam hal resolusi konflik,
perdamaian, dan rujuk.
Tidak
diragukan lagi, sangat penting untuk mendukung guru selama pelatihan
pra-layanan serta program pelatihan in-service, yang memungkinkan mereka untuk
menjadi aktor efisien dalam proses perdamaian, untuk dapat menyelesaikan
konflik di kelas dan harus dilengkapi dengan pengetahuan yang diperlukan,
peralatan, dan persepsi bahwa akan mempertahankan manajemen kelas yang
demokratis selama semua kelas.
Riset
Lapangan (Field Research)
Penelitian
lapangan kualitatif dilakukan untuk Mendorong dan memberdayakan Guru sebagai
Aktor di Proyek Pembangunan Perdamaian didasarkan pada diskusi kelompok dengan
para guru melakukan wawancara secara langsung, administrator sekolah, dan orang
tua di Muş, Van , dan Istanbul. Diskusi kelompok fokus diadakan pada bulan Mei
dan November 2012 di kedua Muş dan Van, selain yang diadakan pada bulan Maret
dan April 2012 di Istanbul. Sebanyak 10-20 guru berpartisipasi dalam setiap pertemuan,
serta staf proyek dari Majelis Helsinki Citizens dan akademisi / peneliti dari
mitra proyek Boğaziçi University dan Muş Alparslan University dan proyek
asosiasi Van Yüzüncü Yıl University. Pertemuan fokus kelompok dimulai dengan
pengenalan tujuan proyek dan dilanjutkan dengan kelompok membahas masalah yang
mereka hadapi dalam bidang pendidikan berkaitan dengan masalah Kurdi, berbagi
pengalaman dan menawarkan solusi dalam suasana santai. Para peserta diizinkan
untuk berbicara selama mereka suka, tanpa diperintah.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengembangkan proposal terhadap pemberdayaan dan dorongan
dari guru dalam membangun perdamaian tergantung pada pengalaman dan pendapat
dari guru, dan kami ingin mencapai hal ini bersama-sama dengan guru, tanpa membangun
hubungan hirarkis antara peneliti dan peserta. Karena metodologi penelitian
yang dipilih, penelitian tidak mengklaim untuk mewakili kota-kota yang
disebutkan atau Turki. Tidak ada yang kurang, kami secara khusus berhati-hati
termasuk beragam guru dari berbagai latar belakang dan pengalaman, yang
memiliki pendapat yang berbeda dan pendekatan terhadap isu-isu yang menangani
penelitian.
Temuan
dari Wawancara dengan Guru
Othering, Prasangka, Standardisasi, dan Isu
Bahasa Pengantar
Para
guru memberitahuan tentang tantangan dan bahkan trauma yang berasal dari
mengabaikan pentingnya penerimaan anak-anak di sekolah dengan kualitas mereka
mewarisi dari keluarga mereka, rasa memiliki, dan bahasa yang mereka
mengekspresikan diri. Dari waktu ke waktu, para guru juga disebutkan pengalaman
mereka sendiri sebagai siswa: " Guru adalah berurusan dengan otak kecil.
Ketika Anda menindas siswa, ketika Anda melanggar kepercayaan dirinya, ia
membawa efek sepanjang hidupnya, anak-anak Kurdi di sini kurang percaya diri, mereka
patuh, mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri, dan tidak berhasil.
Kadang-kadang mereka mencoba untuk meniru, tapi itu tidak mungkin, mereka tidak
bisa sama. Pertama-tama, bahasa kita tidak memungkinkan lalu saya berbicara
sebagai seseorang yang menghadapi masalah yang sama. Anak-anak yang telah
menulis, hati mereka hari ini mereka merasa agresif. Selain itu, guru Azeri di
sekolah yang bekerja dengan saya di Kars; ia jelas seorang nasionalis militan.
Dia menempatkan siswa Kurdi dan Turki di meja yang berbeda, tidak pernah
memberikan tanggung jawab kepada anak-anak Kurdi. "(Seorang guru dari Muş,
yang bekerja di Istanbul di lingkungan yang menerima migrasi internal)
Asosiasi
orang Kurdi dengan kualitas negatif dalam buku teks dan kehidupan sosial
menyebabkan beberapa siswa terhadap kebencian, diam, sementara itu memprovokasi
beberapa siswa terhadap pemberontakan, dan beberap menyangkal identitas orang
tua mereka. Guru dan orang tua yang kami wawancarai di Istanbul memberitahu
kami tentang siswa Kurdi yang ingin mengubah nama mereka yang berbicara buruk
tentang orang Kurdi dan Kurdishness, yang mengira mereka bisa mencapai harga
diri hanya melalui identifikasi dengan identitas yang dominan:
A
(bilingual) Guru yang Berbicara kepada siswa Kurdi Saat Istirahat di Istanbul:
Seorang
guru konseling bekerja di Van:
"Masalah bahasa ibu sangat serius untuk
1, 2, dan kelas 3 ... Anak-anak yang berbicara dalam bahasa Kurdi di rumah
mereka menghadapi kesulitan dalam kepercayaan diri ketika mereka datang ke
sekolah. Sistem pendidikan unilingual bermasalah. Karena tekanan 'untuk
berbicara dalam bahasa Turki' anak-anak mulai memisahkan dari keluarga mereka,
masuk limbo, keluar dari lingkup lingual bahwa mereka mengekspresikan diri
mereka dan memasuki zona baru, menghadapi kesulitan. Setelah anak-anak mulai
berbicara dalam bahasa Turki, mereka mendapatkan terpisah dari ibu mereka; ibu
tidak tahu Turki. "
Sebuah
masalah yang sangat penting disebutkan oleh guru yang bekerja di lokasi di Muş,
Van, dan Istanbul, yang tujuan untuk migrasi internal: Banyak anak-anak yang
berhasil di sekolah karena bahasa pengantar bukanlah bahasa ibu mereka; mereka
sehingga dirujuk ke Pusat Penelitian Konseling dengan kecurigaan dari
"cacat mental". Dan sejak tes di pusat juga tidak dalam bahasa ibu
dari anak itu, anak-anak Kurdi yang didiagnosis dengan "cacat
mental", yang diambil dari sekolah reguler dan dikirim ke fasilitas
pendidikan khusus. Kadang-kadang ketika kelas terlalu ramai, para guru tidak
dapat melihat bahwa masalah sebenarnya adalah bahwa anak tidak mengerti bahasa.
Bahkan jika guru dan pembimbing psikologis yang mendiagnosa bahwa gangguan
ketidakberhasilan atau perilaku anak-anak bergantung pada perbedaan bahasa
pengantar dari bahasa ibu anak-anak, karena tidak ada regulasi, usaha, atau di
sekolah fasilitas untuk mengatasi masalah, mereka tetap saksi hanya untuk
anak-anak yang dicap sebagai "cacat mental", yang diperlakukan
berbeda di seluruh sisa hidup sekolah mereka, yang tersisa di bawah potensi
mental mereka, terlepas dari mereka "normal" rekan-rekan.
Di
sekolah, di buku pelajaran, selama perayaan, tidak ada Kurdi disebutkan.
Komunitas anak-anak hampir dianggap sebagai tidak ada. Anak-anak menyadari hal
ini dan bereaksi terhadap hal itu.
Ketika
mengevaluasi kurikulum, guru telah menyatakan bahwa kurikulum yang disetujui
setelah tahun 2004 memiliki beberapa sisi positif, tapi masih tidak
mencerminkan keragaman budaya Turki, dan itu masih tidak jelas unsur
ultranasionalis yang memuji kekerasan.
Beberapa
wawancara dengan guru dilakukan selama peningkatan kekerasan dan penangkapan
sebelum "perdamaian dan negosiasi proses" dan ketika tahanan politik
yang mogok makan. Beberapa dilakukan setelah negosiasi ulang. Kita harus
menunjukkan bahwa suasana penuh harapan dari kemungkinan akhir damai untuk
konflik bersenjata dirasakan dalam wawancara yang dilakukan di Muş dan Van, dan
mereka negosiasi dan studi yang menilai permintaan dan kebutuhan masyarakat
setempat dianggap positif oleh guru.
Temuan
dari Wawancara dengan Orang Tua Siswa
Orang tua mengambil bagian dalam studi ini
ditanya bagaimana Kurdi/ masalah Turki diproyeksikan ke sekolah, bagaimana itu
mempengaruhi komunikasi mereka dengan sekolah, apa yang menjadi masalah
berbasis konflik sosial terjadi di sekolah-sekolah, anak-anak bagaimana masalah
ini mempengaruhi, bagaimana guru dan administrator bereaksi ketika dihadapkan
dengan masalah ini dan bagaimana orang tua berpikir mereka berperilaku terhadap
anak-anak mereka. Selanjutnya, orang tua bersama rekomendasi untuk membangun
perdamaian di bidang pendidikan.
Beberapa
orang tua jelas menyatakan mereka tidak memiliki masalah dalam berkomunikasi
dengan sekolah-sekolah, sementara beberapa yang lain mengatakan mereka memiliki
beberapa masalah yang terkait langsung dengan masalah Kurdi, dan konflik sosial
di Turki. Beberapa dari mereka yang mengatakan mereka memiliki komunikasi yang
baik dengan sekolah mengatakan lebih lanjut dalam wawancara bahwa mereka
memiliki beberapa masalah.
Hal
itu terlihat bahwa tidak hanya orang tua-guru atau orang tua-administrator
tetapi juga hubungan orang tua-orang tua memiliki dampak yang cukup besar pada
komunikasi dengan sekolah. Terutama orang tua kami wawancarai di Istanbul
mengatakan bahwa mereka merasa dikecualikan selama pertemuan orangtua-guru, di
mana orang tua harus bersosialisasi, karena masalah atas dasar masalah Kurdi.
Demikian pula keluarga menunjuk masalah dengan bahasa seperti mengapa orang tua
Kurdi ditinggalkan.
Selain
itu, selama wawancara, dinyatakan bahwa komunikasi antara orang tua dan sekolah
tidak beroperasi pada hanya satu arah (dari sekolah dan aktor-aktor lain di
sekolah untuk orang tua) tapi dua arah (juga dari orang tua untuk sekolah dan
aktor-aktor lain di sekolah). Seperti yang dinyatakan oleh responden, tingkat
pendidikan dan keadaan sosial ekonomi orang tua serta sikap mereka terhadap
pendidikan dan anak-anak mereka memiliki dampak yang besar pada kualitas
komunikasi antara sekolah dan orang tua ...
Orang
tua memberitahukan tentang bagaimana konflik sosial diproyeksikan ke sekolah,
dengan menekankan pada othering, diskriminasi, pengabaian budaya dan bahasa,
serta dampak konflik bersenjata. Beberapa menunjuk ini sebagai masalah yang
anak-anak mereka miliki, sementara beberapa menciptakan kerangka umum
bersama-sama dengan pengamatan mereka sendiri. Kadang-kadang orang tua mulai
dengan sebuah cerita yang didasarkan atas mereka. Mereka kadang-kadang
meriwayatkan ketegangan yang anak-anak mereka hidup melalui sekolah,
kadang-kadang adegan dari pengalaman mereka sendiri di sekolah, atau kehidupan
sehari-hari mereka, atmosfer pekerjaan mereka. Ketika orang tua berbicara
tentang proyeksi konflik, mereka menggarisbawahi isu-isu seperti perselisihan,
disosiasi, polarisasi, dan mengurung atau hubungan memisahkan. Misalnya,
orangtua berbicara tentang pengalaman pribadi sebagai siswa dan memberitahunya
tentang bagaimana konflik disebutkan berevolusi menjadi kebencian, dan
bagaimana kebencian yang menciptakan sikap negatif terhadap sekolah.
Pendekatan Guru Terhadap Perbedaan Yang
Ada Di Sekolah Dan Masalah Berdasarkan Konflik
Beberapa
guru di Istanbul mengatakan bahwa tidak ada masalah atau konflik dan masalah
Kurdi/Turki etnis adalah produk dari pemerintah dan separatis. Juga mengenai
permintaan pendidikan dalam bahasa ibu sebagai klaim separatis yang akan
merusak persatuan negara, guru-guru ini berpikir bahwa membawa masalah ini
untuk diskusi tidak baik. Guru yang bekerja di provinsi timur Muş dan Van
berpendapat bahwa siswa Kurdi mendapat kesadaran politik sangat awal dan bahwa
kekerasan negara dan sosial diperkenalkan pada tahun-tahun awal mereka. Mereka
juga menekankan bahwa anak-anak bertumbuh dengan mendengar pendapat dari etnis
Kurdi, karena ini adalah bagian besar dari kehidupan keluarga mereka. Sebagai
guru yang dianggap sebagai perwakilan dari negara di tingkat kelas, guru,
kecuali guru Kurdi, yang mengalami kesulitan dalam memperoleh kepercayaan
siswa.
Guru
Barat yang bekerja di timur mengatakan bahwa upaya untuk belajar di Kurdi
berperan penting dalam mendapatkan kepercayaan dari siswa. Belajar di Kurdi
juga memberikan pesan bahwa guru itu tidak berusaha untuk memaksakan bahasa
suatu negara atas negara yang lain maupun nilai-nilai dan budaya mayoritas,
yang memiliki hasil positif. Siswa yang memiliki rasa politik yang tinggi bisa
mengabaikan, menegur atau dalam beberapa kasus yang jarang terjadi bisa,
mengancam guru jika guru tidak menghargai budaya mereka.
Secara
umum, temuan dari wawancara dengan orang tua dan guru memiliki kesamaan antara
dua elemen penting dari sekolah adalah positif dan menjanjikan berkaitan dengan
naik di atas masalah ini pada fokus penelitian ini, serta mengatasi masalah
yang disebabkan oleh masalah ini.
Hal
tersebut tak terbantahkan bahwa sikap guru sangat penting selama pengembangan
kesadaran sosial dan individu dan kesadaran. Fakta bahwa keseragaman bukan
merupakan prasyarat untuk kesetaraan dan bahwa perbedaan harus diakui dan
dihargai, serta pemikiran bahwa kesetaraan hanya dapat dicapai dengan
partisipasi yang setara dan demokratis dalam masyarakat, tidak pernah memiliki
ukuran yang diperlukan dalam pendidikan. "Anda tidak memiliki
perbedaan" sikap tidak realistis dan contoh dari bagian sebelumnya
menunjukkan bahwa untuk anak-anak kecil, tidak meyakinkan. Bagaimana seorang
anak mengembangkan hubungan dengan orang-orang yang mirip dan berbeda dari dia
secara langsung berkaitan tentang bagaimana masalah ini ditangani di sekolah.
Adalah
penting bahwa kedua sekolah dan guru menciptakan lingkungan di mana mereka bisa
mengenal dengan budaya, keluarga adat, sosial-ekonomi, bahasa dan perbedaan
lainnya dan di mana anak-anak bisa mengekspresikan diri dengan kepercayaan diri
dan rasa hormat. Agar hal ini terjadi tampaknya penting untuk meninjau sikap
dan praktik yang berkaitan dengan bahasa, aspek yang paling menonjol dari rasa
budaya milik di Turki saat ini. Selanjutnya, kurikulum dan kegiatan pendidikan
lainnya di sekolah harus dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi sadar
keragaman di Turki serta masalah dan tuntutan. Untuk melakukan hal ini,
lokakarya heterogen, yang akan dihadiri oleh orang tua, siswa, guru dan terkait
LSM dan peneliti, harus diadakan. Hal ini sangat penting bagi guru untuk
bertindak dengan keyakinan, tanpa rasa takut dari topik yang menantang, ketika
unsur-unsur nasionalis dari kurikulum, isu politik saat ini atau masalah
konflik dibawa ke diskusi; penting bagi mereka untuk terbuka untuk mendengarkan
dan memahami siswa, dan untuk menghindari sensor, represif atau penghalang
sikap. Berperilaku seolah-olah konflik bersenjata atau perbedaan pendapat tidak
ada atau berpikir sekolah sebagai tampilan atas masalah ini tidak realistis.
Tampilan pendidikan yang terlepas dari masalah sosial bisa meremehkan sekolah
dan guru untuk siswa. Bagi guru untuk memfasilitasi debat terbuka. Jika guru mendorong siswa mereka untuk
membangun fondasi untuk argumen mereka, untuk memahami ketidaksepakatan
argumen, dan untuk membuat multi-dimensi, evaluasi analitis, anak-anak akan
diberdayakan untuk datang dengan solusi demokratis menuju rekonsiliasi dari
isu-isu sosial yang kontradiktif dan menantang, sementara masih memperhitungkan
basis pendapat dan pendekatan yang berbeda.
Guru
berpikir pelatihan yang mereka terima di perguruan tinggi tidak mempersiapkan
mereka untuk mengajar, terutama di daerah konflik dan pengaturan multikultural.
Ini akan bermanfaat untuk mereformasi kurikulum perguruan tinggi guru sehingga
memungkinkan calon guru untuk melihat multikultural dan multibahasa alam Turki,
sejarah dan informasi terkini tentang masalah sosial umum. Fakta bahwa guru ditugaskan dari provinsi
barat ke Timur sebagian besar berpengalaman dan ingin meninggalkan sesegera
mungkin memiliki dampak negatif pada pendidikan anak-anak. Akhirnya, melihat
wawancara dengan kedua orang tua dan guru, teramati bahwa masalah berasal dari
konflik sosial akan surut ketika suasana rekonsiliasi dan perdamaian yang kuat,
dan lingkungan kelas / sekolah kurang mengandung ketegangan dan lebih damai
bersama dengan kehidupan sehari-hari.
Rekomendasi Kebijakan
1.
Budaya Sekolah, iklim sekolah
Sekolah
telah dibentuk untuk kepentingan individu yang hadir sebagai siswa. Lingkungan
sekolah merupakan pelabuhan hubungan yang kompleks. Tidak diragukan lagi, yang
paling penting di antara ini adalah hubungan antara siswa dan guru. Apa yang
kita sebut budaya sekolah termasuk pendekatan holistik dan pola pikir yang
membentuk semua hubungan di sekolah, menciptakan iklim pendidikan yang akan
menjernihkan proses demokrasi pendidikan. Lingkungan sekolah melibatkan kedua
struktur formal dan informal. Ada kurikulum resmi dan kurikulum tersembunyi.
Sementara guru mengikuti kurikulum resmi, mereka bertindak dalam kerangka iklim
sekolah yang ada budaya pedagogis dan pemahaman. Tetapi ketika kita mengajukan
pertanyaan seperti "Apa jenis tempat adalah sekolah?" Atau "Apa
yang guru lakukan?", Kita dihadapkan dengan proses yang akan pergi jauh di
luar kurikulum resmi dan lingkungan terstruktur secara hierarkis oleh negara.
Tidak hanya guru, tetapi juga manajemen sekolah dan badan-badan administratif
dan pendidikan lainnya di sekolah luar fungsi kurikulum. Sosialisasi siswa di
sekolah selaras dengan sistem sosial yang diberikan. Ini mendisiplinkan mereka.
Meskipun semua orang pergi melalui kurikulum resmi yang sama dalam sistem
pendidikan yang ada, siswa lulus sesuai dengan nilai-nilai dan struktur sistem
sosial ketidakadilan. Oleh karena itu, sekolah memilah siswa sejalan dengan
kebutuhan struktur sosial, dan mengkategorikan mereka berkaitan dengan berbagai
kriteria (gender, kelas sosial, suku, dll). Sementara kebebasan pendidikan dan
pendekatan pedagogis ditargetkan, struktur sosial juga harus diubah dalam
liberal, cara egaliter. Kami dengan ini berbicara tentang struktur sosial baru
yang tidak didasarkan pada eksploitasi ekonomis, tapi itu sosial dan budaya
egaliter dan liberal; misalnya, struktur yang mendukung pendidikan dalam bahasa
ibu bagi semua orang. Ada beberapa upaya dasar dan perencanaan yang harus
diselesaikan dalam rangka menciptakan budaya sekolah yang demokratis. Ini akan
sangat bermanfaat untuk memulai usaha ini sesegera mungkin, karena mereka hanya
akan mampu mencapai tujuan mereka dalam jangka panjang:
a.
Guru,
administrator dan staf sekolah harus berpartisipasi dalam proses pendidikan
yang akan membantu mereka internalisasi model pendidikan yang demokratis.
b.
Agar
berhasil, semua lembaga negara dan semua pejabat lokal harus menyadari fungsi
sosial pendidikan, dan memiliki perspektif yang mendalam tentang masalah ini.
Tindakan harus direncanakan untuk mencapai hal ini.
c.
Guru,
komponen utama dari sekolah, seharusnya hanya diberikan kepada sekolah-sekolah
setelah mereka secara mental dilengkapi dengan pendekatan kritis untuk struktur
sosial, hubungan kekuasaan dalam hubungan masyarakat dan pendidikan-masyarakat,
selama pendidikan mereka di fakultas pendidikan. Mereka harus secara teratur
berpartisipasi dalam lokakarya, pelatihan dan pertemuan diskusi selama
tugasnya.
d.
Setiap
anak datang ke sekolah dengan latar belakang yang berbeda satu dengan yang lain
dilihat dari keterampilan. Iklim pedagogis dan budaya sekolah harus melindungi
dan menghormati perbedaan-perbedaan ini. Fakta bahwa bahasa ibu dan budaya dari
anak-anak yang berbeda dari sebagian besar masyarakat mungkin memperkaya dan
menguntungkan bagi anak-anak, jika multilingualisme didukung sesuai.
e.
Dalam
rangka internalisasi budaya demokrasi partisipatif, sekolah juga harus dikelola
dengan prinsip-prinsip demokrasi partisipatif. Guru, siswa dan semua staf harus
mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan mengenai diri mereka
sendiri, mereka harus bebas untuk mengungkapkan pikiran mereka, dan mereka
harus didorong untuk mengevaluasi kritik dengan cara yang konstruktif.
f.
kurikulum
resmi dan buku pelajaran harus disusun kembali dalam metodologi egaliter
berdasarkan pada pandangan pendidikan liberal, dengan target memberantas
diskriminasi.
g.
Hukum
dan peraturan harus disusun untuk mencapai kesetaraan gender pada setiap
tingkat sistem pendidikan. Tindakan harus direncanakan dan langkah-langkah
harus diambil pada tingkat kota, kabupaten, desa, dan yang paling penting di
tingkat sekolah.
h.
Sebuah
hubungan horisontal dan egaliter harus dikembangkan antara sekolah dan
tetangga/keluarga bahwa anak berasal dari lingkungan tersebut. Hanya kemudian
dapat hubungan hirarkis antara sekolah dan masyarakat akan pecah.
i.
"kolaborasi
sekolah dan orang tua" memiliki makna khusus dalam hal isu Kurdi. Untuk
sebagian besar kasus, anak-anak Kurdi melihat sekolah sebagai inkarnasi dari
negara dan budaya hegemonik, sementara keluarga merupakan rumah mereka dan
budaya sendiri. Beberapa keluarga Kurdi melihat sekolah sebagai alat yang
efektif asimilasi terhadap keberadaan budaya mereka, oleh karena itu memiliki
kontak minimal dengan sekolah. Namun, ketika kesenjangan antara keluarga dan
membesar sekolah, para siswa dapat merasakan pecah dalam cara mereka mengalami
realitas dan kepribadian mereka: hampir semua waktu anak-anak rusak oleh ini.
Hal ini penting untuk keluarga dan anak untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan sekolah, untuk perkembangan anak-anak serta resolusi konflik internal
mereka dan kontradiksi. Untuk mencapai hal ini, pada dasarnya, hubungan antara
sekolah dan keluarga, serta antara sekolah dan anak harus didefinisikan ulang.
j.
Sebuah
kesempatan yang signifikan dalam hal sekolah dan kolaborasi orang tua adalah
pertemuan orangtua-guru. Saat ini, tidak orang tua atau guru sepenuhnya mendapatkan
manfaat dari pertemuan ini; langkah-langkah harus diambil untuk mengembalikan
fungsi sebagai alat komunikasi yang efektif.
2.
Pelatihan Guru dan Profesi Mengajar
Ada
beberapa pelajaran yang dilakukan oleh staf akademik, komunitas pendidikan
umum, orang tua, dan pihak terkait lainnya semua setuju atas. Namun demikian,
semua orang setuju pentingnya guru dalam keseluruhan proses pendidikan. Saat
ini, penentu paling signifikan dari pembelajaran dan proses pendidikan adalah
guru.
Model
yang diadopsi setelah kudeta tahun 1980 ditata ulang sistem pendidikan secara
hirarkis. Model ini ditransfer tugas pelatihan guru untuk fakultas pendidikan
universitas. Dan untuk 29 tahun terakhir, para guru mulai dengan tugas mereka
sebagai lulusan universitas empat tahun. Meskipun mereka mungkin di didik di
universitas-universitas terkemuka, mereka memang dididik sesuai dengan
kurikulum resmi disiapkan oleh Dewan Pendidikan Tinggi (YOK) dan mereka lulus
tanpa bisa mengenal multibahasa, tekstur sosial multikultural (dari berbagai
etnis kelompok, dengan atau tanpa sistem kepercayaan yang berbeda, merangkul
beragam gaya hidup) dari Turki. Di sisi lain, ada banyak guru yang ada yang
telah dilatih oleh sumber daya yang berbeda. Kita melihat bahwa dalam banyak
periode yang berbeda ada insiden kompensasi kebutuhan guru dengan lulusan
universitas yang telah menerima pembentukan pedagogis cukup atau belum menerima
pelatihan formatif ini sama sekali.
Penilaian
dan rekomendasi mengenai ilmu pendidikan dan pedagogi:
a.
Secara
luas, tiga prasyarat dari pelatihan guru yang memberikan pengetahuan khusus,
pelatihan formatif pedagogis, dan pengetahuan umum. Meskipun tidak mungkin
untuk membayangkan seorang guru yang tidak cukup di daerah khusus, saat ini ada
banyak guru yang keahliannya masih bisa diperdebatkan. Terutama, ketika kita
bergerak dari pusat ke arah pinggiran, jauh dari "diinginkan" kota,
kita lihat guru dibayar per jam ditugaskan ke sekolah-sekolah. Ketika
menugaskan guru, keahlian mereka harus diperhitungkan dan adanya guru yang belum
ditetapkan mengenai hal ini juga harus dipertimbangkan.
b.
Ilmu
pendidikan adalah bidang multi-disiplin di bawah ilmu-ilmu sosial. Pelatihan
formatif pedagogis harus melibatkan fundamental filosofis, sosial, ekonomi dan
sejarah pendidikan. Filsafat dan psikologi memiliki peran penting dalam
pembentukan pedagogis. Tapi dimensi pedagogis pendidikan adalah bidang yang
unik dan berbuah pemikiran dan praksis, memunculkan pertanyaan mendasar
mengenai kemanusiaan dan kehidupan sosial, permasalahan dalam masyarakat. Hal
ini penting untuk calon guru yang akan dilengkapi dalam dimensi ini. Hal ini
tidak mungkin untuk membayangkan seorang guru yang tidak tahu warisan
pendidikan dari Turki geografi, yang tidak internalisasi prinsip-prinsip dasar
sosiologi pendidikan, atau yang tidak cukup diserap psikologi pendidikan.
Program pelatihan yang ada harus dievaluasi kembali dengan perspektif ini.
Pendidikan Sosiologi dan Pendidikan Filsafat, yang tidak wajib saat ini, harus
diperlukan program kurikulum fakultas pendidikan.
c.
Guru
harus dilengkapi dengan keterampilan dasar tentang budaya dan seni yang
universal dan lokal. Selain penataan kembali kurikulum fakultas pendidikan,
sangat penting bagi para akademisi dari fakultas ini menjadi ilmuwan
multidimensi.
Penilaian
dan rekomendasi mengenai demokratisasi pendidikan:
a.
Program
Pelatihan guru di bawah fakultas pendidikan harus dievaluasi kembali dan
disusun kembali sesuai dengan model pendidikan pluralis yang mengakui dan
melindungi martabat multibahasa di Turki, struktur multikultural dan banyak
lagi identitas lain.
b.
Ketika
calon guru lulus, mereka harus dilengkapi dengan pendekatan kritis dan
pengetahuan umum untuk memungkinkan mereka untuk berhasil menganalisis hubungan
dinamis sekolah/pendidikan dan ketidaksetaraan dan diskriminasi yang dihadapi
dalam masyarakat Turki. Jika guru yang didukung dengan pengetahuan dan
metodologi tersebut, mereka bisa diberdayakan dan didorong untuk menjadi pelaku
pembangunan perdamaian.
c.
Kurikulum
fakultas pendidikan harus memberikan kesempatan bagi guru untuk berpikir
tentang fungsi ideologis pendidikan. Para guru juga harus diperkenalkan dengan
literatur pendidikan umum universal dan lokal.
d.
Para
guru harus diberi kesempatan dan sarana untuk mengenal kerusakan yang
disebabkan oleh larangan pendidikan dalam bahasa ibu, serta potensi manfaat
mengangkat larangan ini.
e.
Pada
fakultas pendidikan, calon guru akan dilatih melalui program khusus, yang
memungkinkan mereka untuk menganalisa isu-isu sosial. Penelitian lapangan dapat
dilakukan di berbagai daerah untuk mengembangkan program-program khusus. Magang
tidak akan terbatas pada sekolah-sekolah, bahan pedagogis harus dibuat dengan
tujuan untuk memahami konflik sosial dan mengembangkan metode dialog dan
resolusi. Penelitian lapangan juga harus dilakukan untuk membuat bahan-bahan
ini.
f.
Ketika
bekerja pada fungsi potensi guru dalam membangun perdamaian, akan bermanfaat
untuk menganalisis contoh-contoh dari seluruh dunia tentang peran sekolah dan
guru selama proses perdamaian di masyarakat pasca konflik.
g.
Iklim
pedagogis dan budaya harus dipupuk agar bahasa perdamaian mendominasi fakultas
pendidikan dan proses pedagogis. Metodologi harus dikembangkan untuk
memungkinkan para guru untuk mengkritik diri mereka sendiri dan bahasa mereka,
dan untuk mentransfer ini untuk kelas.
h.
Sekolah
tidak hanya tempat untuk menyampaikan pengetahuan. Para calon guru harus dapat
bertindak atas pengetahuan bahwa setiap anak memiliki sejarah sebelum datang ke
sekolah, bahwa mereka memiliki kehidupan lain selain sekolah dan pengembangan
budaya setiap anak mungkin mengikuti jalan yang berbeda. Guru harus mampu
menganalisis hubungan antara sekolah dan wilayah sosial anak.
i.
Guru
harus dilengkapi dengan metodologi pedagogis yang mengambil cerita
kehidupan pribadi dan riwayat keluarga anak selama proses belajar dan mengajar.
Anak juga harus disertakan dalam proses generasi pengetahuan. Dengan cara
ini, ekspresi diri dan bidang sosialisasi untuk anak dapat lebih diperkaya.
j.
Pemikiran
yang dangkal tentang pelayanan pelatihan, yang tidak memiliki potensi untuk
memberikan kontribusi terhadap pembangunan individu dan profesional mereka,
guru harus menyiapkan pengetahuan, keterampilan dan materi yang akan
memungkinkan mereka untuk secara efektif menangani diskriminasi dan pengucilan
di sekolah. Program pelatihan ini seharusnya tidak menjadi sesi pasif selama
guru hanya mendengarkan presentasi, tapi harus dirancang sebagai lokakarya
interaktif yang akan mendorong mereka untuk mengembangkan solusi mereka sendiri
asli dengan pengalaman pribadi mereka sendiri.
k.
Mekanisme
dan struktur harus dibangun untuk mendukung guru dalam menangani masalah
berbasis konflik sosial. Proses kerja dari sekolah 'layanan bimbingan dan
konseling serta Pusat Penelitian Bimbingan (RAM) harus kembali dievaluasi
melalui perspektif ini.
l.
Hal
ini diketahui bahwa karena kondisi menantang, guru tidak memilih beberapa
provinsi timur dan bahwa mereka menuntut untuk kembali ditugaskan segera
setelah mereka ditugaskan ke kota-kota tersebut. Lebih banyak sumber daya harus
dialokasikan untuk memperbaiki kondisi di daerah menantang dan insentif yang
relevan harus disediakan untuk mendorong guru untuk bekerja di kota-kota ini.
(Pembayaran tambahan, yang meliputi biaya transportasi bagi guru yang
keluarganya berada di panjang jarak, kondisi perumahan yang layak, prioritas
untuk tugas-setidaknya empat tahun ke depan kemudian di sekolah dasar
tingkat-akan ditugaskan untuk pilihan pertama mereka lokasi, dll).
3.
Pendidikan Bahasa Ibu
Kebebasan
untuk menggunakan dan di didik dalam bahasa ibu adalah salah satu tuntutan
fundamental dan alami dari Kurdi, merupakan salah satu masyarakat adat dari
tanah Turki, dan yang melalui tahun penindasan dan larangan, harus telah terus
perjuangan untuk mempertahankan bahasa mereka, sastra, budaya mereka, agar
mampu eksis dengan identitas Kurdi. Banyak perjanjian internasional, yang
diakui secara universal dan juga diratifikasi oleh Turki, mengantisipasi
pendidikan dalam bahasa ibu dan menolak diskriminasi berbasis bahasa. Namun,
Turki telah menempatkan pemesanan pada beberapa artikel dalam perjanjian ini
mengenai bahasa seperti Pasal 30 dari Konvensi Hak Anak, mengenai anak dari
kelompok minoritas dan masyarakat adat, berkaitan dengan undang-undang nasional
ibu. Kelangsungan hidup dan perkembangan bahasa, budaya atau sastra tergantung
pada bagaimana ia dimasukkan ke kehidupan sehari-hari dan apakah itu dapat
disampaikan kepada generasi mendatang melalui pendidikan. Warga Kurdi dari
Turki menuntut hak atas pendidikan dalam bahasa ibu sebagai hak asasi manusia.
Untuk anak-anak yang berbicara dalam bahasa ibu mereka-Kurdi di rumah, ada
banyak kerugian pedagogis untuk menemukan diri mereka dalam suatu lingkungan
yang hanya menyediakan pendidikan di Turki. Para siswa yang bahasa ibunya
diabaikan, yang tidak dapat memahami apa yang guru katakan, yang proses
belajarnya lebih lambat dari siswa yang berbahasa ibu adalah Turki, atau yang
bahkan diperlakukan sebagai anak-anak cacat mental, secara alami merasa kurang
nyaman dengan mengembangkan hubungan yang sehat dengan sekolah dan
mengekspresikan diri dengan keyakinan. Keluarga yang meramalkan kerugian ini
dapat memilih untuk tidak berbicara dalam bahasa Kurdi dengan anak-anak mereka
selama tahun pra-sekolah. Namun, itu adalah baik mungkin dan perlu untuk
belajar, mengajar, dan menggunakan Turki dan lain (atau beberapa) bahasa (s)
secara bersamaan dalam kehidupan sosial.
Tindakan
berikut dapat diambil untuk mengatasi kerusakan yang diciptakan oleh pendidikan
satu bahasa dan untuk mempersiapkan model pendidikan multibahasa:
a.
Dalam
menuntut daerah dan lingkungan, pekerjaan persiapan awal dapat dilakukan untuk
membuka program pendidikan bilingual yang sama dibagi dalam Turki dan Kurdi.
Untuk mulai bekerja pada masalah ini, Departemen Pendidikan Nasional dianjurkan
untuk membentuk sub-unit yang akan mempertemukan perwakilan dan pakar dari
masyarakat yang relevan.
b.
martabat
bahasa / budaya di masyarakat juga terkait dengan promosi dan pengakuan dari
produk budaya dalam bahasa itu. Kurikulum sastra bersama juga harus memiliki
karya sastra Kurdi.
c.
sekolah
dan pendidik harus didorong untuk mengatur kegiatan yang akan menargetkan
menjaga bahasa Kurdi hidup sebagai bahasa yang bermartabat di antara
masyarakat. (Kurdi Hari Bahasa, kegiatan menargetkan penulis dan musisi Kurdi,
dll)
d.
Ini
akan sangat bermanfaat untuk memastikan bahwa setidaknya satu guru bimbingan /
konseling tahu Kurdi di sekolah dimana ada siswa yang bahasa ibu adalah Kurdi.
e.
Kebutuhan
analisis harus dilakukan dalam rangka mempersiapkan program pelatihan yang
cocok untuk kebutuhan guru ditugaskan untuk Anatolia Selatan-Timur Timur dan.
f.
pendidikan
anak-anak yang bahasa ibu adalah berbeda dari bahasa pendidikan adalah bidang
keahlian. Sementara model pendidikan multibahasa yang berbeda dibahas, program
sertifikat menampilkan program yang relevan dapat dikembangkan untuk fakultas
pendidikan, menargetkan guru yang akan ditugaskan ke daerah selama masa
transisi.
g.
Solusi
harus dikembangkan untuk menangani masalah-masalah siswa yang gagal di sekolah
karena hambatan bahasa. Mentransfer siswa ini untuk fasilitas yang berbeda,
terutama untuk pusat pendidikan khusus untuk anak-anak cacat, adalah merusak
dan melawan hak-hak anak. Kursus mendukung dapat dibuka untuk anak-anak ini di
sekolah mereka, atau di sekolah tunggal untuk masing-masing daerah. Kelas-kelas
seharusnya tidak terlalu ramai dan kemampuan bahasa harus dipupuk dengan
kegiatan menyenangkan yang dirancang untuk kelompok usia yang relevan.
h.
Orang
tua dan pendidik telah mengkritik gagasan menyebarkan pendidikan pra-sekolah di
Turki di kota-kota di mana bahasa ibu sebagian besar Kurdi, karena fakta bahwa
itu mungkin memiliki dampak negatif pada kemampuan anak-anak dalam bahasa
Kurdi. Praktek di bidang ini harus dirancang dan dilaksanakan dengan
memperhatikan prioritas dan permintaan dari masyarakat setempat, selain ahli.
i.
Melalui
kebijakan dikembangkan untuk menggunakan Kurdi sebagai bahasa pendidikan,
dimungkinkan untuk mencegah emosional, psikologis, ekonomis dan sosial
(termasuk diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan) diskriminasi.
j.
Perhatian
khusus harus diberikan untuk membangun sebuah model khusus untuk pendidikan
dalam bahasa ibu di Turki, sesuai untuk kebutuhan, tuntutan, dan konjungtur
saat ini, serta menciptakan lingkungan yang diperlukan yang akan membuka model
ini untuk diskusi berkaitan dengan ilmiah metode. Kebutuhan yang berbeda harus
dianggap, mengingat orang yang berbahasa ibu adalah Kurdi bukanlah kelompok
yang homogen. Studi yang dilakukan oleh LSM dan penelitian (seperti laporan dan
publikasi dari serif Derince, dilakukan untuk Diyarbakır Institut Politik dan
Ilmu Sosial / DISA) mungkin bermanfaat untuk proses tersebut.
k.
Pra-layanan
dan program pelatihan in-service untuk guru multibahasa harus dikembangkan segera.
Calon guru harus dilatih dengan kurikulum yang memberikan informasi tentang
keragaman bahasa dan budaya Turki.
l.
pendidikan
Kurdi di tingkat yang berbeda mungkin mulai dengan bantuan guru yang telah
dilatih di luar negeri atau di lembaga Kurdi. Selain itu, guru yang saat ini
ditugaskan dan yang sudah tahu Kurdi dapat didukung dengan metodologi
pengajaran dan pendekatan pedagogis agar dilengkapi dengan baik untuk mendidik
dalam bahasa ibu. Guru ditugaskan ke kota-kota Kurdi tanpa mengetahui Kurdi
harus didorong untuk belajar Kurdi.
m.
Persiapan
harus mulai untuk mengembangkan buku pelajaran Kurdi dan materi kursus di semua
tingkatan.
n.
Mendorong
siswa non-Kurdi untuk belajar Kurdi akan membangun perdamaian masyarakat
sekaligus meningkatkan penghormatan terhadap martabat dan bahasa yang berbeda.
Kursus Kurdi elektif saat ini dapat digunakan untuk tujuan ini.
4.
Lokalitas, demokrasi, dan sekolah
Poin penting mengenai lokalisasi,
demokrasi, dan pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
transisi
dari sentralistik, pemerintahan monistik menuju pemerintahan sendiri
membutuhkan pengakuan dari multikultural, struktur sosial multibahasa.
Pendidikan dalam bahasa ibu adalah hak dasar yang dijamin dengan perjanjian
internasional. Pemerintah harus mengakui dan konstitusional mengamankan hak ini
segera. Upaya yang harus dilakukan mengenai semua negatif yang diciptakan oleh
perampasan hak ini hingga saat ini. Ada banyak negara dengan beberapa bahasa
resmi. Di beberapa negara dimana ada bahasa resmi tunggal, kelompok etnis yang
berbeda menerima pendidikan dalam bahasa mereka sendiri. Dalam rangka mencapai
perdamaian masyarakat di Turki, harus berhenti mengabaikan dan mengakui
identitas dan budaya yang berbeda. Sebuah bagian penting dari pengakuan ini melibatkan
sistem pendidikan dan sekolah.
2.
Hal ini tidak cukup untuk menganggap pendidikan bahasa ibu sebagai
masalah teknis; itu juga memerlukan visi masyarakat multibahasa dan
multikultural. Oleh karena itu, masuknya mata kuliah pilihan Kurdi (atau bahasa
ibu lainnya) ke kurikulum selama 2 jam per minggu dianggap sebagai solusi yang
dangkal. Pendekatan seperti menunda pencapaian perdamaian. Sebuah prinsip dasar
penyelenggaraan pendidikan dalam bahasa ibu menuntut harus diikuti oleh semua
pihak. Lokalisasi dan otonomi harus bermanfaat dan berkaitan dengan penggunaan
bahasa ibu dalam pendidikan dan bertransisi ke pendidikan multibahasa.
3. Isu lain dalam realisasi hak atas
pendidikan dalam bahasa ibu adalah keanekaragaman anak-anak Kurdi. Tingkat
pengetahuan dan kemampuan mereka dalam bahasa ibu dan harus mempengaruhi model
pendidikan di Turki. Ini juga menunjukkan pentingnya lokalisasi.
4.
Masalah lain dari sekolah adalah cara otoriter dan hierarkis hubungan
antara sekolah dan lingkungan, yang mengarah ke orang tua anak-anak dan kerabat
lainnya mengalami kesulitan dalam mendekati sekolah. Lokalisasi dalam
pemerintahan akan memiliki efek positif pada hubungan ini dan akan membatasi
birokrasi yang terlibat. Lokalisasi dan otonomi juga mungkin memainkan peran
dalam demokratisasi pendidikan; mungkin menyebabkan pembangunan non otoriter,
hubungan yang tidak asing antara sekolah dan masyarakat.
5.
Banyak masalah sekolah dapat diselesaikan di tingkat lokal. Proses
pedagogis akan bekerja dalam cara yang lebih bermakna dan positif di sekolah
yang memahami kualitas wilayah dan pentingnya untuk mengenal anak-anak dan
keluarga mereka.
6. Sebagian
besar masalah pendidikan saat ini disebabkan oleh detasemen sekolah 'dari
masyarakat, dan khususnya, keluarga. Lokalisasi dan otonomi berjalan dengan
prinsip orang yang mengatur diri mereka sendiri; Oleh karena itu, melalui
jaringan manajerial seperti majelis lingkungan, detasemen masyarakat dari
sekolah dapat dicegah. Sebuah sekolah yang demokratis tidak hanya mengenali anggota
sekolah, tetapi juga mereka yang berada di luar itu.
7.
Salah satu alasan pengecualian perempuan dari sistem pendidikan adalah
kenyataan bahwa sekolah kurang diakses anak perempuan, dan bahwa kadang-kadang
mereka tidak dapat bersekolah karena alasan ekonomi atau sosial. Lokalisasi
memudahkan perempuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan sosial. Peluang
pemerintahan sendiri yang dibuat tersedia melalui lokalisasi juga akan
memungkinkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi perempuan untuk bergabung dan tetap
dalam sistem pendidikan. Pentingnya kuota bagi perempuan di pemerintah daerah /
pusat serta semua tingkat pendidikan dan pekerjaan juga harus dicatat di sini.
8.
Diskriminasi yang terlihat di setiap jenjang pendidikan mungkin
merupakan akar untuk diskriminasi sosial dan ekonomi yang lebih besar.
Pengalaman otonomi dan demokrasi yang beroperasi sesuai dengan sifat-sifat
khusus dari lokalitas mungkin bermanfaat untuk memberikan anak-anak pendidikan
yang menawarkan materi yang cukup / peluang fisik serta proses pedagogis
terampil.
Referensi :
Report on Field Research of Encouraging &
Empowering Teachers as an Actor in Peace-Building & Democratization Project
and Policy Proposals.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar