URGENSI
SELF REGULATED LEARNING
Oleh :
Iman Lesmana
Pendidikan merupakan proses yang
penting untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi individu. Secara filosofis
dan historis pendidikan menggambarkan suatu proses yang melibatkan berbagai
faktor dalam upaya mencapai kehidupan yang bermakna, baik bagi diri sendiri
maupun masyarakat. Lebih jelas tentang makna pendidikan tercantum dalam UUSPN RI Nomor 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat 1, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan mempunyai peran yang
sangat strategis dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan upaya mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia dalam mewujudkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah pun telah merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan yang
diharapkan bangsa Indonesia dalam UUSPN RI Nomor 20 tahun 2003 Bab II pasal 3, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dalam
keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen
pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan
pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan
guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target
tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan,
apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan
mengalami hambatan dalam belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan
pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan
harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang
dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut.
Secara
statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika
siswa dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus
dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning)
dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil
dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah
ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka
siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat
digunakan untuk mengetahui apakah siswa gagal atau berhasil mencapai KKM ialah
dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar yang tercantum
di rapor.
Keberhasilan
siswa dalam mencapai nilai di atas KKM
ditentukan oleh kemampuan siswa dalam belajar
mandiri yaitu keterampilan mengatur kegiatan belajar dan mengontrol
perilaku belajar ,juga dapat menggunakan
strategi belajar efektif dengan cara mengetahui tujuan, arah, strategi serta
sumber-sumber yang mendukung untuk belajar. Penelitian Sedanayasa (2003) menemukan adanya
penguasaan keterampilan belajar siswa di sekolah menengah atas umumnya masih
rendah.
Untuk mencapai keterampilan belajar, siswa membutuhkan self-regulated learning (SRL) dalam
belajar. SRL dibutuhkan siswa agar mereka mampu mengatur dan mengarahkan dirinya sendiri,
mampu menyesuaikan dan mengendalikan diri, terutama bila menghadapi tugas-tugas
yang sulit. Schunk (1989), mengemukakan bahwa siswa
dikatakan melakukan self-regulation
dalam belajar bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan kognisinya
dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol berjalannya suatu
proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk mengingat
informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai
positif belajarnya.
Pada sisi lain,
self-regulated learning menekankan
pentingnya inisiatif karena SRL merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif. Siswa
yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk menggunakan pemikiran, perasaan,
strategi dan tingkah lakunya yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan (Zimmerman,
2002).
Nilai positif lain dari SRL adalah siswa yang sudah tahu
pasti tujuan dari kegiatan belajarnya akan mengarahkan segala pemikiran,
perasaan, penerapan starategi, dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dan mempertahankan prestasi akademiknya (Paris & Newman,
1990). Maka, betapa efektifnya belajar jika siswa memiliki keterampilan self-regulated
learning (SRL).
Fakta empirik dari sejumlah hasil
penelitian ,seperti penelitian yang dilakukan
Sukir (1995) dan M.N. Wangid
(2006) menyatakan bahwa masih
banyak siswa yang tidak mempunyai
motivasi dan kemandirian dalam belajar
seperti tidak memiliki jadwal belajar tetap,
belajar sambil menonton TV
atau mendengarkan radio, tidak menyelesaikan tugas, dan hanya belajar
pada waktu menghadapi ujian saja. Dari hasil penelitian R. R. Sri Pujiatin (2004) ditemukan bahwa sebagian besar siswa
tidak mengetahui cara atau strategi belajar efektif.
Hasil studi pendahuluan ditemukan
bahwa prestasi siswa SMA negeri 1 Nagreg
dalam bidang akademis pada umumnya tergolong rendah, jika dilihat dari ketercapaian
nilai diatas KKM dalam suatu bidang pelajaran. Saat kenaikan kelas rata-rata
dalam satu kelas X masih ada tiga siswa yang tidak tuntas dalam tiga mata
pelajaran. Begitu juga di kelas XI terutama di kelas XI IPS dan XI Bahasa,
bahkan ada lima orang siswa yang tidak
tuntas dalam tiga mata pelajaran.
Berdasarkan wawancara informal
dan observasi lapangan prestasi belajar yang rendah ini diperkirakan salah
satunya berhubungan dengan motivasi belajar yang rendah. Belum terbangunnya
motivasi belajar yang berasal dari dalam diri siswa ditunjukkan dengan
rendahnya persentasi siswa yang mengerjakan tugas dengan usaha optimal dan
tepat waktu. Ditemukan juga rendahnya usaha dan kemauan siswa dalam meminta perbaikan
(remedial) kepada guru mata pelajaran yang nilainya belum tuntas. Bahkan masih
ditemukan beberapa siswa kelas XII yang masih memiliki nilai tidak tuntas
selama di kelas X dan XI.
Disamping motivasi belajar
instrinsik belum terbangun, siswa di SMAN 1 Nagreg belum banyak yang memiliki
kemandirian belajar, yang diantaranya
ditunjukkan dengan masih banyak siswa yang tidak memiliki jadwal belajar rutin
setiap hari, mereka belajar saat akan ujian dengan metode klasik ‘belajar kebut
semalam’ (SKS). Bahkan setelah guru BK melakukan kunjungan rumah kepada salah
satu siswa yang mengalami nilai tidak tuntas sampai delapan mata pelajaran,
diketahui bahwa siswa tersebut menurut orangtuanya tidak pernah belajar di
rumah.
Di Sekolah
Menengah Atas (SMA), penanggulangan permasalahan dan pembimbingan terhadap
siswa dapat dilakukan oleh guru dan guru bimbingan dan konseling (BK). Upaya penanggulangan dan pembimbingan
tersebut akan lebih efektif bila dilakukan secara terprogram dan melalui
kerjasama antara guru bidang studi dengan wali kelas atau dengan guru BK, dan
dengan berbagai pihak terkait lainnya di lingkungan sekolah tersebut. Hal ini
penting karena permasalahan dan tingkah laku belajar siswa terbentuk dan dapat
dikembangkan oleh lingkungan (Guerin, Corey, Kann dan Hanna dalam Daharnis,
2005) agar program dan kerjasama penanggulangan permasalahan (berkenaan dengan
prestasi, dan kegiatan belajar sebagaimana dikemukakan di atas) dan/atau
program pembimbingan terhadap mahasiswa dapat disusun dengan baik sehingga terjadi
peningkatan self regulated learning dan prestasi belajar siswa.
Kedudukan guru bimbingan dan
konseling (BK) dalam pendidikan di sekolah adalah membantu perkembangan yang
optimal dari setiap siswa melalui bidang pembinaan yang meliputi ranah akademik,
karir, pribadi dan sosial. Secara spesifik guru BK harus mampu meningkatkan
kompetensi siswa yang meliputi (a) ranah Akademik- siswa mampu belajar untuk
belajar (Learning to Learn), (b) ranah karier/vokasional- siswa mampu belajar untuk
menghasilkan (Learning to Earn) dan (c) ranah pribadi/sosial- siswa
mampu belajar untuk hidup (Learning to Life).
Tujuan khusus yang terkait dengan upaya bantuan yang dapat dilakukan
oleh guru BK dalam ranah akademik adalah membantu siswa agar memiliki (1) keterampilan
untuk belajar artinya para siswa dibantu untuk dapat
memperoleh sikap, pengetahuan dan keterampilan yang memberikan sumbangan bagi
efektivitas belajar di sekolah hingga melintasi sepanjang rentang kehidupannya
(2) kegemilangan skolastik artinya para siswa dapat
merampungkan jenjang sekolah dengan persiapan akademik yang esensial dalam
penentuan pilihan di antara opsi-opsi substansial pasca-sekolah-lanjutan
termasuk sekolah, salah satunya (3) sukses akademik menuju sukses
hidup artinya para siswa dapat memahami hubungan antara bidang akademik dengan
dunia kerja dan antara kehidupan dalam rumah dengan di tengah masyarakat.
Guru BK harus mampu menyusun program bimbingan belajar/ akademik yang dapat membantu
generasi muda memilih pengalaman yang cocok untuk mereka yang nantinya dapat
menjadikan mereka mumpuni menaklukkan sebagian besar situasi pembelajaran yang
dihadapi. Semua siswa harus memiliki pengetahuan dasar-dasar baru tentang
"Era Informasi" atau "Era Teknologi" termasuk keterampilan pengambilan
keputusan, penuntasan masalah, berpikir kritis, membuat timbangan logis,
perancangan tujuan, keterampilan dalam menggunakan perangkat teknologi,
keterampilan melakukan transisi, keterampilan interpersonal dan kecakapan untuk
melakukan pengorganisasian dan pengelolaan informasi.
Hal
ini sejalan dengan tuntutan terhadap sejumlah kemampuan yang harus dimiliki
siswa yang termuat dalam standar kompetensi lulusan (Permendiknas nomor 23
Tahun 2006), bahwa lulusan SMA hendaknya : (1) memiliki kemampuan mengembangkan
diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta bertanggung jawab
atas perilaku, perbuatan dan pekerjaannya ;(2) menunjukkan cara berpikir logis,
kritis, dan inovatif dalam mengambil keputusan; (3) menunjukkan sikap
kompetitif untuk mendapatkan hasil yang baik; (4) memiliki kemampuan
menganalisis, dan memecahkan masalah kompleks; (5) menghasilkan karya kreatif,
baik individu atau kelompok dan(6) menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk
mengikuti pendidikan tinggi.
Untuk
mengatasi masalah belajar seperti yang dikemukakan sebelumnya dan untuk
mengembangkan self regulated learning siswa maka
disusunlah program bimbingan belajar melalui strategi metakognitif. Teori
metakognisi dari Flavell
(1971) yang menyatakan bahwa pengetahuan
tentang metakognitf dan keterampilan menggunakan strategi metakognitif dalam
paradigma konstruktivisme melahirkan siswa ideal yaitu seorang pelajar yang
memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learner). Siswa yang memiliki self regulated learning adalah seseorang yang memiliki pengetahuan
tentang strategi belajar efektif, atau biasa disebut academic learning skill, yang dipadu dengan kontrol diri dan
motivasi yang tetap terpelihara, Jadi siswa yang menjadi self regulated learner adalah seorang yang mampu (skill) dan mau (will) belajar. Bagi self
regulated learner, motivasi belajar adalah untuk belajar itu sendiri bukan
karena ingin mendapatkan nilai, atau motivasi eksternal lainnya.
Metakognitif memiliki arti
penting dalam sebuah proses pembelajaran, karena pengetahuan tentang proses
kognitif kita sendiri dapat memandu kita dalam menata suasana dan menyeleksi
strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita di masa mendatang. Strategi
metakognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting
dikuasai oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah.
Strategi metakognitif ini dapat dipelajari oleh peserta didik, artinya guru
dapat mengajarkannya. Guru BK dapat menciptakan lingkungan metakognitif yang meningkatkan kemampuan
siswa untuk menjadi pemikir yang baik, yang berhasil memecahkan masalah dan menjadi pembelajar seumur hidup (long
life learner).
Ketertarikan peneliti dalam
menggunakan strategi metakognitif dalam mengembangkan self regulated learning siswa juga diperkuat oleh hasil penelitian tindakan
kelas (Classroom Action Research) Darmiany (2008) tentang penerapan
belajar eksperiensial melalui pemanfaatan
metakognisi, motivasi dan siswa aktif
dalam proses pembelajaran mereka sendiri
yang terbukti berhasil
mengembangkan self regulated learning mahasiswa
Program Studi S-1 FMIPA Pendidikan
Matematika UM semester genap tahun pelajaran 2007/2008. Selain itu menurut
penelitian Wahidin (2004), pelajar yang mendapat latihan keterampilan berpikir,
skor kemampuan berpikirnya lebih tinggi daripada pelajar yang tidak mendapat
latihan berpikir.
Melalui kerangka bimbingan
konseling komprehensif, seorang guru BK dapat
menyusun program bimbingan belajar yang bertujuan meningkatkan
kompetensi siswa dalam ranah akademik. Langkah awal guru
BK dapat menghimpun data dengan menggunakan instrumen untuk melihat dan mendata
bagaimana tingkat self regulated learning
dalam diri siswa. Untuk meningkatkan self
regulated learning dalam diri siswa , guru BK dapat memberikan layanan
dasar yang meliputi layanan klasikal pemberian informasi cara belajar efektif
dan keterampilan metakognitif. Guru BK dapat melakukan layanan responsif dalam
mengatasi kesulitan belajar siswa melalui strategi metakognitif. Melalui layanan
perencanaan individual guru BK dapat membimbing setiap siswa untuk memiliki
tujuan dan target pencapaian prestasi belajar serta mampu memonitoring
keberhasilan belajarnya sendiri. Terakhir melalui dukungan system, guru BK
dapat berkolaborasi dengan guru mata pelajaran lain dalam mengobservasi proses
belajar siswa di kelas dan memantau
kemajuan prestasi belajar siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar