Rabu, 06 Mei 2020

Etika Islam terhadap Diri Sendiri


Etika Islam terhadap Diri Sendiri
Oleh :
Iman Lesmana


Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang given  akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”  yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral atau etika.
Etika itu sendiri merupakan  ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, diperlukan kemampuan dalam beretika terhadap diri sendiri yaitu suatu batasan diri yang dapat mengontrol diri kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji (berhubungan dengan perilaku). Kemampuan beretika ini, sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh individu, sehingga memiliki kepribadian yang baik.
Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangatlah ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan dan penyucian terhadap dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa celakanya dirinya sangatlah ditentukan oleh sejauh mana kerusakan dirinya, pengotorannya dan keburukan perbuatannya.
Oleh karena itulah maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang dapat mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil, ucapan-ucapan yang buruk, dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorong dirinya kepada ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.
Definisi etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000)
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.       ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2.       kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika terhadap diri sendiri adalah suatu batasan diri yang dapat mengontrol diri kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji (berhubungan dengan perilaku).
Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangatlah ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan dan penyucian terhadap dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa celakanya dirinya sangatlah ditentukan oleh sejauh mana kerusakan dirinya, pengotorannya dan keburukan perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya dan menyucikannya ialah iman yang benar dan amal shalih. Ia juga meyakini bahwa sesuatu yang dapat mengotori dirinya dan merusaknya ialah kekafiran, keburukan dan kemaksiatan.
Firman Allah Ta’ala:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya jika seorang mukmin melakukan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, berhenti (dari dosa tersebut) dan beristighfar, maka hatinya bersih. Jika dosanya bertambah, maka bertambah pula noda hitamnya sehingga menutupi hatinya.” (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Noda hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta’ala dalam surat Al-Muthaffifin di atas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Oleh karena itulah maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang dapat mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil, ucapan-ucapan yang buruk, dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorong dirinya kepada ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.
Dalam upayanya memperbaiki diri, membina, dan menyucikan dirinya, orang muslim menempuh jalan-jalan berikut:
1.        Taubat
Yang dimaksud dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dari semua dosa dan perbuatan maksiat, menyesali semua dosa-dosa di masa lalunya, dan bertekad tidak kembali lagi kepada dosa-dosa tersebut di sisa umurnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai..” (At-Tahrim: 8)
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nuur: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim)
2.      Muraqabah
Maksudnya, orang muslim mengkondisikan dirinya merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di setiap waktu kehidupannya, bahwa Allah Ta’ala melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya, memperhatikan semua perbuatannya, dan mengamati apa saja yang ada di dalam hatinya. Dengan cara seperti itu, maka orang muslim akan senantiasa merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tentram ketika ingat nama-Nya, dapat merasakan kenikmatan ketika taat kepada-Nya, selalu ingin dekat dengan-Nya, ingin segera datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلا

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisaa’: 125)
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman: 22)
Itulah intisari seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya.” Al-Baqarah: 235)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sembahlah Allah seperti engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.      Muhasabah
Karena orang muslim bekerja siang malam untuk kebahagiaannya di akhirat, maka ia harus melihat ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan seorang pedagang kepada modal bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah sunnah seperti penglihatan seorang pedagang terhadap keuntungan bisnisnya, dan melihat kemaksiatan atau dosa sebagai kerugian daalm bisnisnya.
Kemudian ia berduaan dengan dirinya sendiri sesaaat di akhir harinya untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya sepanjang siang harinya. Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, maka ia mencela dirinya dan memarahinya, kemudian memaksa dirinya untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga apabila ibadah-ibadah wajib tersebut termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika ibadah-ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga maka ia memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah. Jika ia melihat dirinya kurang dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka ia mengganti kekurangannya dan mendorong dirinya untuk melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia melakukan dosa, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan amal shalih yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah satu cara perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya. Firman Allah Ta’ala, “Hendaklah setiap diri memperhatikan”, maksudnya adalah perintah untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap diri sendiri atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.
Adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, jika waktu malam telah tiba, ia memukul kedua kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah engkau kerjakan siang tadi?”
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian dievaluasi.”
Yang semakna dengannya ialah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedang orang lemah adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berkhayal kosong kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad hasan).
Adalah Thalhah radhiyallahu ‘anhu jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tidak bisa menghadiri shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah Ta’ala dari perkebunannya. Ini tidak lain adalah muhasabah darinya terhadap dirinya, dan kemarahannya terhadap dirinya.
Begitulah para salafush shalih mengevaluasi diri mereka, dengan memarahi dirinya atas kelalaiannya, mewajibkan dirinya untuk senantiasa bertakwa, dan melarang dirinya mengikuti hawa nafsunya, karena mengikuti firman Allah Ta’ala:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at: 40-41)
4.      Mujahadah
Orang muslim mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada dalam dirinya, bahwa sifat hawa nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan senantiasa menyeru kepada keburukan, sebagaimana dikatakan Zulaikha dalam Al-Qur’an:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Selain itu, di antara sifat hawa nafsu adalah senang bermalas-malasan, santai dan menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaan bagi dirinya.
Jika orang muslim telah mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk berjuang melawan hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata untuk melawannya, dan bertekad mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsu dan menantang syahwatnya. Jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya, kemudian mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang ia tinggalkan. Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi tentram, bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, aku melihat Rasulullah shyallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut mereka kusut, berdebu, dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud, dan berdiri shalat membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki mereka dengan kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran dengan air mata hingga pakaian mereka basah kuyup.”

1.        Prinsip Moral Dasar
a.      Prinsip Sikap Baik
Prinsip Sikap Baik adalah disposisi dan kemauan untuk melihat orang lain sebagai npribadi yang bermartabat, yang berharga bukan karena ia menguntungkan dan bermanfaat bagi saya tetapi dia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri
Mendorong orang untuk mengusahakan kebaikan kesejahteraan dan keselamatan sesamanya bahkan terhadap orang yang tidak dikenal sebelumnya. Sesungguhnya dalam diri manusia ada kecenderungan untuk bersikap baik karena itu merupakan bagian dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
b.      Prinsip Keadilan
Kehendak kuat dan tetap untuk memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Tuntutan keadilan yang paling dasariah adalah perlakuan terhadap semua orang yang berada dalam kondisi dan situasi yang relatif sama. Untuk berbuat baik kepada sesama seseorang harus menghargai hak-hak asasi orang lain.
c.       Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri
Untuk besikap baik seseorang tidak boleh melanggar hak-hak orang lain termasuk untuk tidak menelantarkan diri sendiri dengan membiarkan diri diperbudak dan diperalat oleh orang lain . Mencintai diri sendiri merupakan dasar bagaimana kita bisa mencintai orang lain. Mencintai diri sendiri tidak sama dengan egois. Prinsip menghormati diri sendiri berarti setiap orang setiap orang harus memperlakukan dirinya sendiri sebagai pribadi yang bermartabat dan memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa prinsip hormat pada diri sendiri memiliki dua arti yaitu pertama sebagai tuntutan agar kita tidak membiarkan diri diperas,diperbudak, kedua prinsip hormat pada diri sendiri juga merupakan tuntutan moral untuk tidak menelantarkan diri sendiri.
2.      Keutamaan-Keutamaan Moral Dasar
a.      Kejujuran
Kejujuran adalah landasan untuk membangun kepercayaan orang lain kepada kita. Tanpa kejujuran tidak mungkin dibangun suasana saling mempercayai. Orang jujur adalah orang yang konsisten antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dikatakan dan diperbuat. Kejujuran seseorang dapat dilihat dari kesetiaan seseorang terhadap apa yang dijanjikan.
b.      Otentisitas
Otentisitas adalah keaslian,originalitas. Pribadi yang otentik adalah pribadi yang didasari oleh kejujuran yang tampil apa adanya tidak memakai topeng. Lawan dari pribadi yang otentik adalah pribadi yang oportunitis artinya menyesuaikan diridengan situasi lingkungan sejauh menguntungkan.
c.       Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab
Kebebasan untuk bertanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia . Pribadi yang bertanggung jawab akan melakukan sesuatu bukan karena hukum atau peraturan tetapi karena kesadaran pribadi bahwa sesuatu itu bernilai maka wajib dilakukan.
d.      Kemandirian Moral
Orang yang mandiri secara moral adalah orang yang berani membuat dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional atas suatu persoalan pada situasi konkret. Orang yang mandiri secar moral tidak akan mengikuti apa yang dikatakan dan diperbuat oleh orang lain kalau itu bertentangan dengan nilai dan prinsip dasar moral
e.      Keberanian Moral
Keberanian moral adalah tekad dan kehendak kuat untuk bertindak dan berbuat sesuai apa yang dipikirkan dan dipertimbangkannya sebagai tugas dan tanggung jawabnya. Keberanian moral ditunjukan dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakinisebagai kewajibannya walaupun harus berhadapan dengan banyak kesulitan dan resiko.
f.        Kerendahan Hati
Kerendahan hati membantu orang mampu merelatifkan apa yang dimiliki dan disandangnya . Orang yang rendah hati mampu mendengarkan orang lain dan terbuka terhadap perubahan kalau memang diperlukan
g.      Bonum Commune
Mampu bertindakbukan hanya demi kepentingan diri sendiri tapi juga mau berkorban demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Kebutuhan dan penderitaan orang lain menggugat kesadaran moralnya untuk bertindak demi kebaikan sesamanya. Prinsipnya bahwa aku akan maju dan berkembang kalau orang lainpun maju dan berkembang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...