Etika Islam
terhadap Diri Sendiri
Oleh :
Oleh :
Iman Lesmana
Dalam hubungannya dalam pencarian
kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas)
tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat
tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas
sebagai fitrah mansia yang given akan mengarakan kepada kebenaran
atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan
diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya
pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”
yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu
sendiri akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral atau etika.
Etika itu sendiri merupakan ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari,
diperlukan kemampuan dalam beretika terhadap diri sendiri yaitu suatu batasan
diri yang dapat mengontrol diri kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak
terpuji (berhubungan dengan perilaku). Kemampuan beretika ini, sangat
bermanfaat dan dibutuhkan oleh individu, sehingga memiliki kepribadian yang
baik.
Orang muslim
meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangatlah ditentukan oleh
sejauh mana pembinaan, perbaikan dan penyucian terhadap dirinya. Selain itu, ia
meyakini bahwa celakanya dirinya sangatlah ditentukan oleh sejauh mana
kerusakan dirinya, pengotorannya dan keburukan perbuatannya.
Oleh karena itulah
maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan
membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang dapat mengotorinya dan
merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil, ucapan-ucapan yang buruk,
dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya
setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorong dirinya
kepada ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.
Definisi etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata
‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai
banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta
etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah
Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi,
secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000)
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2.
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Etika
terhadap diri sendiri adalah suatu batasan diri yang dapat mengontrol diri kita
dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji (berhubungan dengan perilaku).
Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya
di dunia dan akhirat sangatlah ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan
dan penyucian terhadap dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa celakanya dirinya
sangatlah ditentukan oleh sejauh mana kerusakan dirinya, pengotorannya dan
keburukan perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Orang
muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya dan menyucikannya
ialah iman yang benar dan amal shalih. Ia juga meyakini bahwa sesuatu yang
dapat mengotori dirinya dan merusaknya ialah kekafiran, keburukan dan
kemaksiatan.
Firman
Allah Ta’ala:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
jika seorang mukmin melakukan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia
bertaubat, berhenti (dari dosa tersebut) dan beristighfar, maka hatinya bersih.
Jika dosanya bertambah, maka bertambah pula noda hitamnya sehingga menutupi
hatinya.” (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa
hadits ini hasan shahih).
Noda
hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta’ala
dalam surat Al-Muthaffifin di atas.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bertakwalah
kepada Allah di mana saja engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan dengan
kebaikan, niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan
bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (Diriwayatkan Ahmad,
At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Oleh
karena itulah maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya,
menyucikannya, dan membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang dapat
mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil,
ucapan-ucapan yang buruk, dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya
siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan
yang baik, mendorong dirinya kepada ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari
segala keburukan dan kerusakan.
Dalam
upayanya memperbaiki diri, membina, dan menyucikan dirinya, orang muslim
menempuh jalan-jalan berikut:
1.
Taubat
Yang dimaksud
dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dari semua dosa dan perbuatan
maksiat, menyesali semua dosa-dosa di masa lalunya, dan bertekad tidak kembali
lagi kepada dosa-dosa tersebut di sisa umurnya.
Allah Ta’ala
berfirman:
“Hai orang-orang
yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai..”
(At-Tahrim: 

“Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (An-Nuur: 31)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hai manusia,
bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak
seratus kali.” (HR. Muslim)
2. Muraqabah
Maksudnya, orang
muslim mengkondisikan dirinya merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di setiap
waktu kehidupannya, bahwa Allah Ta’ala melihatnya, mengetahui
rahasia-rahasianya, memperhatikan semua perbuatannya, dan mengamati apa saja
yang ada di dalam hatinya. Dengan cara seperti itu, maka orang muslim akan
senantiasa merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tentram
ketika ingat nama-Nya, dapat merasakan kenikmatan ketika taat kepada-Nya,
selalu ingin dekat dengan-Nya, ingin segera datang menghadap kepada-Nya, dan
berpaling dari selain-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah
dalam firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلا
“Dan siapakah yang
lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisaa’: 125)
“Dan barang siapa
yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman:
22)
Itulah intisari
seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya.” Al-Baqarah: 235)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sembahlah Allah
seperti engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Muhasabah
Karena orang muslim
bekerja siang malam untuk kebahagiaannya di akhirat, maka ia harus melihat
ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan seorang pedagang kepada modal
bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah sunnah seperti penglihatan seorang pedagang
terhadap keuntungan bisnisnya, dan melihat kemaksiatan atau dosa sebagai
kerugian daalm bisnisnya.
Kemudian ia
berduaan dengan dirinya sendiri sesaaat di akhir harinya untuk melakukan
muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya sepanjang siang
harinya. Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, maka
ia mencela dirinya dan memarahinya, kemudian memaksa dirinya untuk melaksanakan
ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga apabila ibadah-ibadah wajib tersebut
termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika ibadah-ibadah wajib
tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga maka ia
memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah. Jika ia melihat dirinya kurang
dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka ia mengganti kekurangannya dan
mendorong dirinya untuk melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia
melakukan dosa, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan
amal shalih yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang
dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah satu cara
perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya. Firman
Allah Ta’ala, “Hendaklah setiap diri memperhatikan”, maksudnya adalah perintah
untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap diri sendiri atas apa yang
diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.
Adalah Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu, jika waktu malam telah tiba, ia memukul kedua
kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah engkau kerjakan siang
tadi?”
Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian
dievaluasi.”
Yang semakna
dengannya ialah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang cerdas
adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian,
sedang orang lemah adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya
dan berkhayal kosong kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad
hasan).
Adalah Thalhah
radhiyallahu ‘anhu jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tidak bisa
menghadiri shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah Ta’ala dari
perkebunannya. Ini tidak lain adalah muhasabah darinya terhadap dirinya, dan
kemarahannya terhadap dirinya.
Begitulah para
salafush shalih mengevaluasi diri mereka, dengan memarahi dirinya atas
kelalaiannya, mewajibkan dirinya untuk senantiasa bertakwa, dan melarang
dirinya mengikuti hawa nafsunya, karena mengikuti firman Allah Ta’ala:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at:
40-41)
4. Mujahadah
Orang muslim
mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada dalam dirinya, bahwa
sifat hawa nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan
senantiasa menyeru kepada keburukan, sebagaimana dikatakan Zulaikha dalam
Al-Qur’an:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Selain itu, di
antara sifat hawa nafsu adalah senang bermalas-malasan, santai dan menganggur,
serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan
kebinasaan bagi dirinya.
Jika orang muslim
telah mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk berjuang melawan
hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata untuk melawannya, dan
bertekad mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsu dan menantang
syahwatnya. Jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya
lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika
dirinya tidak serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan
memarahinya, kemudian mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan
dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang ia tinggalkan.
Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi tentram,
bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap
hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Ali bin Abu Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Demi Allah, aku melihat Rasulullah shyallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut
mereka kusut, berdebu, dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk
sujud, dan berdiri shalat membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki
mereka dengan kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang
sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran dengan
air mata hingga pakaian mereka basah kuyup.”
1.
Prinsip Moral Dasar
a. Prinsip Sikap Baik
Prinsip Sikap Baik
adalah disposisi dan kemauan untuk melihat orang lain sebagai npribadi yang
bermartabat, yang berharga bukan karena ia menguntungkan dan bermanfaat bagi
saya tetapi dia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri
Mendorong orang
untuk mengusahakan kebaikan kesejahteraan dan keselamatan sesamanya bahkan
terhadap orang yang tidak dikenal sebelumnya. Sesungguhnya dalam diri manusia
ada kecenderungan untuk bersikap baik karena itu merupakan bagian dari kodrat
manusia sebagai makhluk sosial.
b. Prinsip Keadilan
Kehendak kuat dan
tetap untuk memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Tuntutan
keadilan yang paling dasariah adalah perlakuan terhadap semua orang yang berada
dalam kondisi dan situasi yang relatif sama. Untuk berbuat baik kepada sesama
seseorang harus menghargai hak-hak asasi orang lain.
c. Prinsip Hormat Pada
Diri Sendiri
Untuk besikap baik
seseorang tidak boleh melanggar hak-hak orang lain termasuk untuk tidak
menelantarkan diri sendiri dengan membiarkan diri diperbudak dan diperalat oleh
orang lain . Mencintai diri sendiri merupakan dasar bagaimana kita bisa
mencintai orang lain. Mencintai diri sendiri tidak sama dengan egois. Prinsip
menghormati diri sendiri berarti setiap orang setiap orang harus memperlakukan
dirinya sendiri sebagai pribadi yang bermartabat dan memiliki nilai dalam
dirinya sendiri. Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa prinsip hormat pada diri
sendiri memiliki dua arti yaitu pertama sebagai tuntutan agar kita tidak
membiarkan diri diperas,diperbudak, kedua prinsip hormat pada diri sendiri juga
merupakan tuntutan moral untuk tidak menelantarkan diri sendiri.
2.
Keutamaan-Keutamaan Moral
Dasar
a. Kejujuran
Kejujuran adalah
landasan untuk membangun kepercayaan orang lain kepada kita. Tanpa kejujuran
tidak mungkin dibangun suasana saling mempercayai. Orang jujur adalah orang
yang konsisten antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dikatakan dan
diperbuat. Kejujuran seseorang dapat dilihat dari kesetiaan seseorang terhadap
apa yang dijanjikan.
b. Otentisitas
Otentisitas adalah
keaslian,originalitas. Pribadi yang otentik adalah pribadi yang didasari oleh
kejujuran yang tampil apa adanya tidak memakai topeng. Lawan dari pribadi yang
otentik adalah pribadi yang oportunitis artinya menyesuaikan diridengan situasi
lingkungan sejauh menguntungkan.
c. Kesediaan Untuk
Bertanggung Jawab
Kebebasan untuk
bertanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari kebebasan yang dimiliki oleh
manusia . Pribadi yang bertanggung jawab akan melakukan sesuatu bukan karena
hukum atau peraturan tetapi karena kesadaran pribadi bahwa sesuatu itu bernilai
maka wajib dilakukan.
d. Kemandirian Moral
Orang yang mandiri
secara moral adalah orang yang berani membuat dan mengambil keputusan
berdasarkan pertimbangan rasional atas suatu persoalan pada situasi konkret.
Orang yang mandiri secar moral tidak akan mengikuti apa yang dikatakan dan
diperbuat oleh orang lain kalau itu bertentangan dengan nilai dan prinsip dasar
moral
e. Keberanian Moral
Keberanian moral
adalah tekad dan kehendak kuat untuk bertindak dan berbuat sesuai apa yang
dipikirkan dan dipertimbangkannya sebagai tugas dan tanggung jawabnya.
Keberanian moral ditunjukan dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang
telah diyakinisebagai kewajibannya walaupun harus berhadapan dengan banyak
kesulitan dan resiko.
f.
Kerendahan
Hati
Kerendahan hati
membantu orang mampu merelatifkan apa yang dimiliki dan disandangnya . Orang
yang rendah hati mampu mendengarkan orang lain dan terbuka terhadap perubahan
kalau memang diperlukan
g. Bonum Commune
Mampu
bertindakbukan hanya demi kepentingan diri sendiri tapi juga mau berkorban demi
kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Kebutuhan dan penderitaan orang lain
menggugat kesadaran moralnya untuk bertindak demi kebaikan sesamanya.
Prinsipnya bahwa aku akan maju dan berkembang kalau orang lainpun maju dan
berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar