Mereduksi
Informasi Hoax Virtual melalui Peningkatan
Kajian
Literasi Digital
Oleh :
Iman
Lesmana
Abstrak
Salah satu hal terpenting dalam menghadapi
peredaran informasi palsu (hoax) di era post-truth
adalah meningkatkan literasi digital. Tujuan memiliki
kemampuan literasi digital ialah untuk
memberikan kontrol lebih pada khalayak dalam
memaknai pesan yang berlalu-lalang di media
digital. Tulisan ini kemudian akan mengeksplorasi
urgensi literasi digital, bagaimana
pengaruhnya, serta cara meningkatkan kecakapannya
sebagai upaya menanggulangi hoax. Tulisan ini juga
menggunakan metode kepustakaan dalam mengelaborasi berbagai macam literatur
baik berupa
buku, jurnal, majalah, maupun literatur yang relevan dengan tema tulisan. Dalam
studi ini,
akan dilakukan penyesuaian terhadap ekologi media yang sudah berubah sehingga mendorong adanya unsur kebaruan dari studi
terdahulu, khususnya literasi media.
Mengembangkan definisi literasi media yang
dicetuskan oleh W. James Potter, penulis mencoba membagi definisi literasi digital ke dalam tiga
kategori serupa (dengan mengganti obyek media
menjadi teknologi digital) yakni umbrella definition,
definisi proses, dan definisi tujuan.
Perbedaan tingkat literasi tentu saja akan berdampak
pada perbedaan control individu dalam
proses interpretasi informasi yang ada, terutama
informasi yang beredar di media sosial. Di satu sisi, media sosial dapat dilihat sebagai satu
langkah lebih dekat dengan demokrasi pada internet, dan menutup kesenjangan digital antara negara
berkembang dan negara maju. Akses pada
informasi dan dukungan sosial dapat meningkat.
Namun di sisi lain, beberapa kasus negative
ditemukan dalam ranah kebebasan berpendapat
seiring intensnya penggunaan media sosial di
masyarakat. Berdasarkan data dari Diskominfo Jabar
2012, saluran penyebaran berita hoax
sebanyak 92,4% ditemukan melalui media sosial.
Oleh sebab itu, relasi literasi digital dengan
upaya mengatasi kasus hoax perlu lebih banyak digali terutama pada golongan
media sosial dengan
kasus hoax terbanyak
yaitu jenis mikroblog (Twitter) dan SNS (Facebook dan Instagram). Pertama, literasi digital sebagai sebuah keharusan
dalam kehidupan komunikasi akan ditinjau
mulai dari konsep teoritis hingga arti
pentingnya. Kedua, tulisan ini akan membahas relasi literasi digital dengan upaya penanggulangan hoax di era post-truth. Ketiga, mekanisme peningkatan
kecakapan literasi digital akan dihadirkan
sebagai upaya preventif. Relasi literasi digital dalam
memberantas berita palsu ini terletak pada peran
kemampuan kognitif khalayak dalam proses
verifikasi informasi. Bahkan, pada tingkatan yang
lebih tinggi, literasi digital dapat membantu
individu memberikan informasi alternatif atas
informasi yang sudah terkonfirmasi kepalsuannya.
Bila kontrol konten media sosial rasanya sulit
dilakukan oleh pemilik media, pemerintah, maupun kelompok lainnya, literasi
digital adalah salah satu solusinya. Dengan menggalakkan literasi digital,
pengendalian diri terhadap penggunaan media sosial dapat dilakukan secara
optimal. Peningkatan literasi digital sebagai bentuk self control menjadi
solusi untuk mencegah kasus peredaran informasi palsu (hoax) menjadi berulang
dan semakin banyak. Literasi digital dapat menjadi cara yang efektif untuk
menanggulangi informasi palsu (hoax)
di era post-truth, dengan mengenalkan tanda-tanda berita palsu, prosedur verifikasi
informasi, hingga menindaklanjuti informasi yang kiranya masuk kategori hoax.
Kata Kunci : Era Post-Truth; Hoax;
Literasi Digital; Literasi Media Potter.
PENDAHULUAN
Menjamurnya berita palsu/hoax yang beredar pada media sosial di Indonesia
seakan menjadi mata rantai yang tak ada ujungnya. Konten tersebut senantiasa
diproduksi, direproduksi, kemudian disebarkan secara terus menerus hingga
menjadi sebuah fenomena dan kultur yang biasa saja. Permasalahan ini sejatinya
adalah buah dari euphoria media berekspresi yang baru, yang memungkinkan kita
untuk berujar dan membuat konten apapun tanpa terikat tatanan etika kehidupan
yang baku. Seakan kehidupan kita di media sosial berjalan secara terpisah
dengan yang kita jalani pada dunia nyata.
Media sosial seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Snapchat, atau Whatsapp adalah tempat dimana gosip, breaking news, dan
informasi yang sedang ramai dibicarakan khalayak cepat menyebar. Facebook
sendiri memiliki 1,55 milyar pengguna aktif pada 2016, yang setiap penggunanya
menghabiskan paling tidak 20 menit per hari untuk membaca informasi terbaru
pada lini masa mereka. Lebih jauh, populasi pengguna ini akan terus meningkat,
hingga diprediksi pengguna aktif media sosial di seluruh dunia akan mencapai
2,72 milyar pada 2029, sekitar sepertiga dari populasi dunia (Roese, 2018:314).
Kita harus siap menghadapi era disrupsi yang
serba tidak pasti. Teknologi setiap harinya terus dan terus berkembang. Kita
pun harus dapat mengimbanginya. Salah satu ciri era disrupsi terlihat dari
penggunaan teknologi informasi, keberadaan teknologi informasi telah menghapus
batas-batas geografi yang memicu munculnya cara-cara baru untuk menghasilkan inovasi-inovasi
baru.
Era disrupsi juga tidak bisa terlihat secara
jelas dan bergerak tanpa disadari melalui pesatnya teknologi dan akan
mempengaruhi tatanan hidup bahkan mengganti sistem yang ada. Inilah yang
disebut sebaga era disruptif, dan telah kita rasakan saat ini.
Segala yang dilakukan oleh warga net di dunia
maya merefleksikan kepribadiannya di dunia nyata. Semua tautan, foto, video
yang diunggah secara langsung merupakan bentuk refleksi. Maka dari itu
pentingnya pemahaman literasi digital bagi generasi milenial.
Ciri khas dari generasi milenial saat ini
diantaranya kaum muda akan semangat berinovasi, percaya diri, berpikiran
positif, dan berani tampil beda. Hal ini merupakan cara untuk menunjukkan
identitas dan talentanya. Perlunya upaya pendidik dan orangtua dalam memberikan
pola pendidikan atau kiat membimbing yang lebih humanis, normatif, dan
religius.
Hari ini, media sosial lebih berfungsi sebagai
tempat pertemuan khalayak untuk bertukar berita, potongan-potongan informasi
dan rekomendasi satu sama lain. Tersedianya tempat pertemuan dengan aktivitas
konektif dengan kadar yang tinggi inilah yang membedakan media sosial dengan
media konvensional lainnya (Van Dijck, 2013:62).
Sayangnya, informasi yang beredar di kanal-kanal
media sosial tak jarang mengandung framing
dan bumbu tambahan, bahkan praktik memelintir
informasi yang memicu kaburnya batas antara berita palsu dengan yang akurat.
Data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di
Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Pada 2014 saja,
terdapat 761.126 situs yang diblokir karena konten berita palsu. Pada 2015
angkanya terus naik hingga mencapai 766.394 situs. Melengkapi data tersebut,
menurut The Jakarta Post, sejak 2008 lalu sebanyak 144 orang telah diproses hukum karena kasus
ujaran kebencian dan peredaran berita palsu di jagad media sosial.
Salah satu hal yang menarik untuk didiskusikan
adalah banyaknya warganet yang merasa berhak untuk berujar apapun di media
sosial dengan menggunakan payung pembenaran kebebasan berpendapat. Kebebasan
berpendapat sendiri sejatinya memang merupakan hak asasi manusia yang dilindung
oleh Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 28E UUD 1945, yang mencakup
kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan
berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas
negara. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa hak kebebasan tersebut
tidak absolut karena diiringi oleh tanggung jawab khusus.
Tulisan ini kemudian ingin mendiskusikan peran
literasi digital sebagai cara untuk mencegah praktik kebebasan berpendapat yang
tidak bertanggung jawab di media sosial, khususnya penyebaran berita palsu (hoax). Tulisan ini akan
mengelaborasi bagaimana literasi digital dapat membantu warganet di Indonesia
untuk mengontrol diri dalam berinteraksi di media sosial. Literasi digital
dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat untuk melangkah lebih jauh
yaitu menjadi garda depan iklim media sosial yang lebih sehat.
Permasalahan yang akan penulis angkat adalah bagaimana
kecakapan literasi digital dibutuhkan sebagai upaya mengatasi hoax di media sosial. Tulisan ini akan dijelaskan dalam
beberapa sub bahasan untuk menjelaskan urgensi literasi digital sebagai self control
dalam menghadapi hoax, sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang tidak
bertanggung jawab. Pertama,
akan dijelaskan definisi dan arti penting literasi digital. Kedua, tulisan ini akan menjelaskan mengenai darurat
literasi digital pada pengguna media sosial. Ketiga,
pembahasan tentang relasi literasi digital dengan
upaya mengatasi hoax di
era post-truth. Keempat,
akan dijabarkan mekanisme kecakapan literasi digital yang dibutuhkan sebagai upaya
meningkatkan self-control warganet. Titik tekan literasi ini sebagai upaya preventif untuk
mencegah praktik kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab berupa
berita palsu (hoax).
TINJAUAN PUSTAKA
Literasi Media Potter
Kata “literasi”, yang bermakna kemampuan untuk
membaca dan menulis, secara perlahan memiliki perluasan makna dengan
berkembangnya teknologi media hingga era digital. W. James Potter (2001:4)
menjelaskan bahwa beberapa ahli memperluas makna literasi dari yang awalnya
hanya literasi membaca, menjadi literasi visual (merujuk pada televisi dan
film) serta literasi komputer. Ketiganya bukanlah sinonim untuk literasi media,
namun hanya komponen yang berdiri sendiri. Literasi media, menggabungkan seluruh
kemampuan spesifik tersebut dan tumbuh sebagai sesuatu yang lebih general.
Konsep literasi yang awalnya hanya dikaitkan dengan media cetak, menjadi
lebih kompleks dengan istilah literasi media karena berkaitan dengan
pemprosesan informasi berupa menyaring, mencocokkan makna, serta mengonstruksi
makna dari media (Potter, 2004:270).
Media
literacy is a perspective that we actively use when exposing ourselves to the media
in order to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspective
from knowledge structures, we need tools and raw material. The tools are our
skills. The raw material is information from the media and from the world. Active
use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with
them (Potter, 2001:4).
Melalui definisi tersebut, literasi media menurut
versi Potter dimaknai sebagai kemampuan interpretasi makna dari pesan yang
membutuhkan struktur pengetahuan berupa keahlian sebagai alat, serta kekayaan
informasi sebagai bahannya. Lebih jauh,Potter menjelaskan bahwa informasi yang
dimaksud adalah informasi yang multidimensi. Tidak hanya berupa fakta yang bisa
diakses melalui buku, surat kabar, dan artikel majalah saja yang kemudian disebut
sebagai informasi kognitif, tetapi juga tipe lainnya berupa informasi
emosional, informasi estetis, dan informasi moral (Potter, 2001:8).
Tabel Tipe-tipe Informasi
Domain Infromasi
|
Inti
|
Jenis
|
Tingkat Literasi
|
Kognitif
|
Informasi faktual
|
Tanggal, nama, definisi, dll.
|
Tinggi
|
Emosional
|
Perasaan.
|
Cinta, benci, kebahagiaan, frustasi, takut,
nafsu, dll.
Ambivalensi, kebingungan, kewaspadaan, dll.
|
Rendah
|
Estetik
|
Bagaimana memproduksi pesan; kemampuan apresiasi.
|
Seberapa baik penulis,
fotografer, aktor, dan tim
kreatif termasuk editor
bekerja.
|
Tinggi
|
Moral
|
Nilai
|
Penilaian terhadap benar salah.
|
Tinggi
|
Sumber : Potter (2001:8)
Dengan berkembangnya era digital, barulah muncul
istilah literasi digital yang selanjutnya dimaknai dengan kemampuan untuk
memahami informasi berdasarkan format digital seperti kata-kata, rekaman suara,
dan gambar yang melebur jadi satu.
Bahan-bahan kombinasi ini yang kerapkali
diistilahkan dengan “multimedia” memang bukan hal baru, namun bahan-bahan
penyusunnya lah yang hadir dengan cara baru. Warganet dimungkinkan mengubah,
memformat ulang, mentransformasikan gambar, suara, dan kata-kata secara bebas
(Lanham, 1995:198).
Era Post-Truth
Berbicara mengenai literasi digital tidak dapat
dilepaskan dari era post-truth. Era posttruth hadir sebagai hasil dari meningkatnya polarisasi, ketidaksetaraan
pertumbuhan ekonomi,
penolakan kepercayaan pada ilmu pengetahuan, dan meningkatnya fraksi lanskap media (Lewandowsky, 2017:353).
Transformasi lanskap media yang terjadi pada
era media baru tersebut secara tidak langsung
menjadi salah satu penyebab munculnya
era post-truth. Korelasi antara pesatnya penggunaan media sosial dan segala dinamikanya terhadap hangatnya pembicaraan
mengenai post-truth menurut Lewandowsky
(2017:359) dilatarbelakangi oleh beberapa alasan.
Pertama,
fleksibilitas dan fraksi yang ditawarkan oleh media sosial memungkinkan masyarakat
untuk memilih apa yang mereka favoritkan (echo-chamber) sehingga kebanyakan informasi yang mereka akses cocok dengan
pandangan yang telah ada. Konsekuensinya, ada kemungkinan pembentukan keyakinan yang keliru
ketika bukti relevan dipahami secara tidak tepat (Garrett, Weeks, & Neo,
2016 dalam Lewandowksy, 2017:359). Custom-deliver
content yang selaras dengan kesukaan dan perilaku
pengguna, secara cepat menciptakan realitas epistemik alternatif, atau banyak
disebut sebagai “filter bubbles”.
Kedua,
beragamnya pilihan menyebabkan besarnya heterogenitas tingkatan misinformasi mengenai
isu penting. Dalam hal ini, kecenderungan media yang diakses khalayak
mencerminkan ketertarikan isu mereka sehingga terjadi pengabaian terhadap banyak
isu yang lebih penting.
Ketiga,
jarak psikologis dalam diskusi online
yang sarat akan kebebasan cara bertutur dan erat
kaitannya dengan kesan ketidaksopanan, memantik terbentuknya polarisasi kelompok.
Ada interaksi interpersonal yang negatif dan terjadinya social chaos akibat
fenomena internet troll (orang atau konten pesan yang bertujuan membangkitkan tanggapan
emosional dari pengguna lainnya).
Pembahasan mengenai faktor-faktor pemicu munculnya era post-truth dari media sosial tidak
berhenti sampai di sana. Pandangan distopian akan masa depan yang kebenarannya dikendalikan
oleh suara mayoritas di media sosial masih menjadi sebuah kemungkinan yang
nyata. Diskusi publik mengenai post-truth
dan kaitannya dengan berita palsu (hoax) yang sebelumnya
tak banyak dibicarakan hingga 2016, tiba-tiba menjadi topik yang sangat hangat
untuk dibicarakan. Pada era post-truth, Bu & Xia (2013) dalam Lewandowsky (2017:354) menyinggung bahwa
kekuatan berada pada pihak yang paling vokal dan berpengaruh pada media sosial:
dari selebritis dan perusahaan besar, hingga akun botnet yang dapat
menggerakkan jutaan tweetbots atau sock puppets (sosok akun palsu yang digawangi oleh kelompok kecil operator yang
dapat membuat ilusi opini yang menyebar luas).
PEMBAHASAN
Literasi Digital: Sebuah Keharusan dalam Kehidupan Komunikasi
Literasi digital memiliki arti penting dalam
kehidupan komunikasi karena tiga alasan.
Pertama,
penggunaan media digital khususnya internet dan media sosial yang semakin intens
dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya, gawai menjadi perangkat yang tidak boleh tertinggal
serta menjadi media yang paling diandalkan sebagai sarana berkomunikasi serta
mencari informasi. Media digital berkembang dengan sangat cepat, dengan tawaran
informasi dan konten lainnya yang terus menerus diproduksi tanpa mengenal
batasan jarak dan waktu. Pembaharuan informasi bahkan terjadi dalam hitungan
detik, dari banyak sumber dan platform yang tersedia.
Kedua, ketergantungan
masyarakat terhadap situs mesin pencari (Google, Yahoo, atau
Bing) dan
platform media sosial untuk mencari informasi. Tampaknya, internet menjadi media
baru yang menawarkan solusi atas segala pencarian informasi masyarakat. Internet
menjadi unggul karena waktu penyediaan informasi yang cepat dan kemudahan aksesnya.
Demikian halnya dengan media sosial sebagai kanal akses informasi alternatif.
Ketiga, untuk
menyeleksi informasi dari banyaknya sumber yang ada, individu memerlukan
kecakapan atau kemampuan spesifik. Dengan tersedianya aneka jenis informasi,
perlu adanya kecakapan khusus yang ditunjang dengan literasi digital. Dengan memiliki
kecakapan tersebut, individu akan memiliki kontrol lebih pada proses interpretasi
pesan sehingga dapat menyeleksi informasi/konten tertentu yang akurat. Lalu,
apa pengertian literasi digital sebenarnya? Pada literasi terdahulu era media
cetak, ide dan ekspresi pada hakikatnya hanya terdiri dari satu bentuk.
Pemaknaan dilakukan terhadap kata-kata. Sedangkan literasi digital, bentuk
ekspresinya menggunakan kode digital yang menghasilkan suara, gambar, dan kata-kata,
sehingga ada variasi parametric yang berlaku pada inti dari ekspresi digital.
Untuk dapat terliterasi digital, harus ada kemampuan untuk menguraikan gambar
yang kompleks dan suara, serta makna sintaksis kata-kata. Literasi digital juga
meningkatkan kemampuan kita untuk mencocokkan media pada informasi yang
ditawarkan untuk khalayak (Lanham, 1995: 199). Pada studi lebih lanjut, proses
literasi digital ini melibatkan multi-teks yang otentik, diproses dengan
beragam perangkat dan perpindahan kode untuk memahami konten dari banyak
pengguna pada subjek tunggal (Chase, 2011: 536).
Mengembangkan definisi literasi media yang
dicetuskan oleh Potter (dalam Adiputra,2008:5), penulis mencoba membagi
definisi literasi digital ke dalam tiga kategori serupa (dengan mengganti obyek
media menjadi teknologi digital). Pertama, umbrella
definition, yang dapat digunakan untuk menganalogikan
literasi digital sebagai pelindung individu ketika individu terkena hujan informasi
sewaktu berhadapan dengan internet dan media sosial.
Dalam perkembangannya, dengan jumlah informasi
yang terus diproduksi setiap detik dan tak terhingga, informasi bahkan tak
hanya cukup dianalogikan sebagai hujan namun sampai tsunami informasi. Kedua, definisi proses,
menunjukkan bahwa literasi digital adalah sebuah kecakapan yang berfungsi ketika
individu berselancar pada media sosial dan konten internet lainnya. Ketiga, definisi tujuan,
menganalogikan literasi digital sebagai sebuah hasil akhir dari konstruksi yang
dibangun dalam pikiran individu sehingga individu tersebut memiliki kontrol
yang lebih besar atas pesan media yang ia akses, dalam hal ini media digital
berupa internet dan media sosial.
Kebutuhan literasi digital ini melibatkan
kompetensi teknologi, kognitif, dan sosial dalam menghadapi perubahan teknologi
digital. Pengguna harus terliterasi digital supaya bisa menguasai tantangan
sosiologis, kognitif, dan pedagogis akibat meningkatnya penetrasi internet.
Kemampuan ini meliputi: kemampuan mengoperasikan komputer dan mengakses secara
efektif, menguasai informasi dalam jumlah besar, mengevaluasi reliabilitas
informasi, dan secara kritis menilai perangkat teknologi secara alami.
Individu harus belajar, berkolaborasi, dan
memecahkan masalah secara efektif pada lingkungan virtual, dan berkomunikasi
secara efektif pada lingkungan sosial yang termediasi teknologi. Tak sebatas
itu saja, literasi digital juga berkaitan dengan isu-isu dinamika informasi,
properti dan kepemilikan intelektual, copyright, keaslian konten, dan plagiarisme (Eshet-Alkalai, 2012:1).
Tujuan memiliki kemampuan literasi digital ialah
untuk memberikan kontrol lebih pada khalayak dalam memaknai pesan yang
berlalu-lalang di media digital. Keseluruhan pesan media memiliki makna yang
terlihat, disertai dengan banyak makna yang lebih dalam tersimpan di dalamnya.
Perbedaan tingkat literasi tentu saja akan berdampak pada perbedaan kontrol
individu dalam proses interpretasi informasi yang ada.
Menurut Potter (2001: 10), individu dengan
tingkat literasi yang rendah akan cenderung mudah menerima makna pesan yang
tampak, yang dibuat dan ditentukan oleh media. Dengan keterbatasan perspektif,
ia memiliki struktur pengetahuan yang lebih kecil, dangkal, dan kurang
terorganisir, sehingga tidak mumpuni untuk digunakan dalam proses interpretasi
makna pesan media. Akhirnya, individu tersebut akan sangat sulit untuk
mengidentifikasi keakuratan informasi, menyortir kontroversi, menyadari konten satir,
serta mengembangkan cara pandang yang lebih luas.
Sebaliknya, Potter (2001:10) menjelaskan bahwa
pada individu dengan tingkat literasi media yang tinggi, ia akan secara aktif
menggunakan serangkaian kemampuan interpretasi. Individu tersebut menempatkan
pesan media pada konteks struktur pengetahuan yang terelaborasi dengan baik.
Akhirnya, ia mampu menginterpretasi pesan apapun dari banyak dimensi yang
berbeda, sehingga menyediakan lebih banyak pilihan makna. Ketika individu
memiliki tingkat literasi tinggi, ia mengetahui bagaimana menyeleksi semua
pilihan makna dan memiliki kuasa dan kontrol lebih untuk memilih salah satu yang paling akurat dari beberapa
sudut pandang (kognitif, emosional, estetik, dan moral).
Apabila kita secara sadar memilih terpaan media
tertentu dan secara aktif mengatur informasi yang paling akurat dari terpaan
tersebut, secara tidak langsung kita sedang membangun dan memperkokoh struktur
pengetahuan. Dengan kuatnya struktur pengetahuan dan keahlian yang kita miliki,
kita dapat meningkatkan apresiasi terhadap media baru. Semakin terliterasi,
semakin kita memahami dan mengapresiasi media baru, pesan, dan efeknya.
Darurat Literasi Digital pada Pengguna Media Sosial
Literasi digital tidak dapat dipisahkan dari
dunia media sosial karena 97,4% orang Indonesia mengakses akun media sosial
saat menggunakan internet. Dalam menggunakan media sosial, tidak semua orang
menggunakannya dengan bijak karena merasa punya hak untuk bebas berpendapat.
Pada akhirnya, muncul kasus-kasus kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung
jawab di media sosial.
Menurut data yang dihimpun oleh perusahaan riset
We Are Social, pertumbuhan jumlah pengguna internet turut diiringi oleh
meningkatnya jumlah pengguna layanan media sosial. Hanya berjumlah 79 juta pada
2016, angka tersebut setahun berikutnya naik menjadi 106 juta pengguna. Para
pengguna yang secara aktif menggunakan media sosial di perangkat mobile pun naik dari
angka 66 juta menjadi 92 juta. Dari segi pertambahan jumlah pengguna di layanan
media sosial tersebut, Indonesia bahkan menempati posisi ketiga di dunia. Kita
berhasil mengalahkan negara-negara seperti Brazil dan Amerika Serikat, dan
hanya kalah dari Cina dan India. Khusus untuk jumlah pengguna Facebook, We Are Social mengklaim kalau Indonesia
masih menempati posisi keempat dalam daftar negara dengan pengguna Facebook
terbanyak, dengan jumlah seratus enam juta pengguna. Indonesia hanya kalah dari
Amerika Serikat, India, dan Brazil (Pratama, 2017).
Tak jarang, individu mengelola lebih dari satu
platform media sosial. Hal ini dilakukan karena karakteristik tiap platform
yang unik dan berbeda. Menurut Kaplan dan Haelin (2010:63), media sosial
memiliki beberapa jenis platform yang dikelompokkan menjadi:
1.
Collaborative
projects, dimana semua orang bisa menulis, mengedit, dan menambah
isinya. Butuh klarifikasi mendalam ketika mengakses informasi dari wadah ini.
Contoh: Wikipedia.
2.
Content
communities, para pengguna dapat memuat, menonton, dan
berbagi konten secara gratis. Contoh: YouTube.
3.
Blogs dan Mikroblogs: apikasi yang sederhana
hanya dengan mengunggah konten singkat yang menjadi daya tarik penggunanya.
Contoh: Twitter.
4.
Social Networking
Sites (SNS): layanan jejaring sosial yang memungkinkan untuk saling
berbagi foto, video, dan informasi lainnya kepada lingkungan pertemanan virtual.
Contoh: Facebook dan Instagram.
5.
Virtual
Game Worlds: dunia permainan secara daring, biasa disebut online gaming.
6.
Virtual
Social Worlds: simulasi kehidupan yang terjadi dalam dunia
virtual. Contoh: Second Life.
Selanjutnya, Kaplan dan Haelin (2010:62)
mengklasifikasikan media sosial berdasarkan kehadiran sosial/ kekayaan media
dan presentasi diri/ penyingkapan diri melalui tabel berikut.
Klasifikasi Media Sosial
Klasifikasi
|
Social
Presence/ Media Richness
|
|||
Low
|
Medium
|
High
|
||
Self
Presentation /
Self
Disclosure
|
High
|
Blogs
|
SNS (Facebook
dan Instagram)
|
Virtual Social Worlds (Second
Life)
|
Low
|
Collaborative
projects
(Wikipedia)
|
Content communities
(YouTube)
|
Virtual Game Worlds (World of
Warcraft)
|
Sumber: Kaplan dan Haelin (2010:62)
Penggunaan media sosial dengan berbagai platform
ini disebut-sebut sebagai wadah kebebasan berpendapat di jagad dunia virtual.
Kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan
Pasal 28E UUD 1945 mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan
untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan
tanpa memandang batas negara. Kebebasan ini terdiri dari dua bentuk, yaitu kebebasan
berpendapat dan berekspresi. Pada kebebasan berpendapat, individu berhak
menuangkan opininya dalam ucapan, tulisan, atau lain sebagainya. Sedangkan
kebebasan berekspresi mencakup ekspresi yang lebih luas, termasuk melalui
materi audiovisual, ekspresi budaya (tarian dan lagu), artistic maupun politik,
serta gerakan lainnya melalui tagar dan aksi sosial. Semua ini menjadi lebih
mudah dilakukan dengan perantara media sosial.
Meski demikian, penggunaan media sosial sebagai
kanal kebebasan berpendapat tetap diasosiasikan pada keuntungan dan kerugian.
Di satu sisi, media sosial dapat dilihat sebagai satu langkah lebih dekat
dengan demokrasi pada internet, dan menutup kesenjangan digital antara negara
berkembang dan negara maju. Akses pada informasi dan dukungan sosial dapat
meningkat. Mengingat karakteristik masyarakat Indonesia yang memiliki
keterikatan sosial yang tinggi, penggunaan media sosial seperti Facebook dan
Twitter menjadi populer.
Namun di sisi lain, beberapa kasus negatif
ditemukan dalam ranah kebebasan berpendapat seiring intensnya penggunaan media
sosial di masyarakat. Berdasarkan data dari Diskominfo Jabar 2012, saluran
penyebaran berita hoax sebanyak
92,4% ditemukan melalui media sosial. Oleh sebab itu, relasi literasi digital
dengan upaya mengatasi kasus hoax
perlu lebih banyak digali terutama pada golongan
media sosial dengan kasus hoax terbanyak yaitu jenis mikroblog (Twitter) dan SNS (Facebook dan Instagram).
Literasi Digital : Upaya Mereduksi Hoax Virtual di Era Post-Truth
Sebenarnya, istilah“post-truth” dan “post-fact” adalah istilah
yang relatif baru mengingat secara virtual terma tersebut tidak dikenal pada 5
tahun yang lalu. Meski sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1992 (dicetuskan
oleh Steve Tesich), tulisan mengenai post-truth baru muncul kembali tahun 2004
oleh Ralph Keyes. Namun belakangan, pencarian akan terma ini semakin tinggi
bahkan dinominasikan sebagai the
word of the year pada 2016 oleh Oxford Dictionary – tahun dimana
Inggris Raya melepaskan diri dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald Trump
sebagai presiden Amerika Serikat. Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah
tersebut sebagai situasi dimana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam
membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Dalam dua momen tersebut, informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang
fakta yang sebenarnya. Selama kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada
2016 misalnya, lembaga pemeriksa fakta independen PolitiFact menilai bahwa 70%
pernyataan Donald Trump adalah bohong. Sebagai pembanding, Hillary Clinton yang
menjadi pesaingnya memiliki angka kebohongan yang jauh lebih rendah pada
kisaran 26%. Meski demikian, Donald Trump keluar sebagai pemenang sehingga mencerminkan
bahwa rendahnya akurasi konten kampanye yang ia sampaikan tidak mengurangi daya
tariknya untuk mendulang banyak pemilih (Lewandowsky, 2017:354).
Dalam kasus kebebasan berpendapat, berita hoax ini ditengarai menjadi cara untuk melakukan
propaganda (Yates, 2016). Hoax atau berita palsu didefinisikan sebagai informasi yang tersebar
melalui media, seringkali untuk mengambil keuntungan pada aktor sosial yang
spesifik, yang terbukti mengandung materi yang tidak benar. Kabar bohong yang
beredar di media sosial menjadi besar ketika diambil oleh situs atau akun terkemuka
yang memiliki banyak pengikut. Berita ini cenderung menyebar dengan cepat karena
fitur shareability yang tinggi pada media sosial. Tingginya pertumbuhan informasi palsu
yang beredar di era post-truth sedikit banyak sudah terlihat dampaknya pada masyarakat.
Individu/kelompok yang dengan sengaja memproduksi informasi palsu biasanya
memiliki banyak dalih untuk menyelamatkan diri dari cap “pembuat berita palsu”.
Sejalan dengan gagasan Ralph Keyes bahwa daripada menerima kebohongan sebagai
cara baru kehidupan, muncul manipulasi gagasan mengenai kebenaran. Mulai dari
“membuat pesan” kebenaran, kemudian “mempercantiknya”, jadilah cerita tentang
“improvisasi kebenaran” (Keyes, 2004:14).
Dari kronologi tersebut, fenomena kebohongan
akhirnya selalu memiliki cara untuk dipelintir. Para era post-truth, batasan antara
kebenaran dan kebohongan menjadi kabur, demikian juga dengan kejujuran dan
ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi. Menipu orang lain menjadi sebuah tantangan,
permainan, dan kebiasaan. Informasi
palsu pada era post-truth tidak lagi dapat dipandang sebagai kegagalan kognitif individu yang
dapat dikoreksi dengan perangkat komunikasi yang tepat. Lebih jauh, harus
dipertimbangkan pengaruh epistemologi alternatif yang menentukan standar
konvensional akan bukti. Respon terhadap era post-truth
harus melibatkan solusi teknologi yang
menggabungkan prinsip psikologi, pendekatan interdisipliner yang dideskripsikan
sebagai “technocognition”.
Relasi literasi digital dalam memberantas berita
palsu ini terletak pada peran kemampuan kognitif khalayak dalam proses verifikasi
informasi. Bahkan, pada tingkatan yang lebih tinggi, literasi digital dapat
membantu individu memberikan informasi alternatif atas informasi yang sudah
terkonfirmasi kepalsuannya. Dalam penelitiannya, Jonas De Keersmacker (2017:107)
menyebutkan bahwa derajat pembenaran yang dilakukan individu tergantung pada
kemampuan kognitif mereka. Individu dengan kemampuan kognitif lebih rendah
cenderung kurang responsif untuk mengoreksi informasi palsu dibandingkan mereka
dengan kemampuan kognitif tinggi.
Pada era ini, peran literasi digital dalam konteks
media sosial menjadi lebih sentral. Bila kontrol konten media sosial rasanya
sulit dilakukan oleh pemilik media, pemerintah, maupun kelompok lainnya,
literasi digital adalah salah satu solusinya. Dengan menggalakkan literasi
digital, pengendalian diri terhadap penggunaan media sosial dapat dilakukan
secara optimal. Literasi digital bertujuan agar masyarakat menguasai pemprosesan
berbagai informasi di media sosial dengan lebih kritis dan tidak mudah mengikuti
arus tren informasi yang belum tentu valid.
Kecakapan Literasi Digital untuk Meningkatkan Self-Control Warganet
(Kaum Milenials)
Hoax menjadi
salah satu bentuk tindak kriminal yang terjadi karena rendahnya self-control individu.
Teori self-control yang berkaitan erat dengan perbuatan kriminal ini sebenarnya memiliki asumsi pokok bahwa setiap
orang memiliki tendensi yang berbeda
untuk melakukan tindak kriminal, bagaimanapun
keadaannya, karena kadar control
yang berbeda pada individu satu dengan individu
lainnya. Mereka yang memiliki kadar
self-control yang tinggi akan cenderung memiliki kemungkinan
kecil untuk terlibat dalam
tindak kriminal. Sedangkan pada mereka yang rendah, dipadukan dengan situasi yang mendukung akan lebih mudah melakukan
kejahatan. Tindak kriminal dan perilaku
sejenis seperti merokok, minum-minuman keras,
penggunaan narkoba, seks bebas, dan
keadaan lainnya adalah manifestasi dari rendahnya
self-control pada individu. Penyebab
rendahnya self-control
adalah sosialisasi yang tidak komplit dan tidak
efektif (Akers,191:202).
Rendahnya self-control
individu ini didukung juga dengan situasi media
sosial yang masih
ramai dengan konten negatif. Sehingga, individu yang memiliki self-control dengan kadar rendah merasa bukan sebuah hal yang besar
ketika dia‘ikut-ikutan’ membuat
berita palsu dan menyebarkan berita palsu karena
kaburnya batas fakta dan opini pada
era post-truth. Meski sudah ada berbagai aturan dan anjuran untuk menjauhi pelanggaran tersebut, nyatanya masih kurang efektif untuk
meminimalisasi terjadinya kasus yang sama. Kasus yang banyak terjadi, aturan tersebut berfungsi
hanya kepada pelanggarnya
(represif) –meski cenderung menangani kasus yang dilaporkan saja, bukan sebagai
upaya pencegahan (preventif).
Kurang efektifnya aturan-aturan tersebut
ditengarai karena proses sosialisasi pada
masyarakat masih belum terjadi secara optimal.
Meski sudah ada UU ITE, bahkan Fatwa
MUI mengenai bermuamalah pada media sosial,
tetapi berapa banyak warganet yang
mengerti tentang isi dan konsekuensinya jika
melanggar? Padahal, aspek sosialisasi ini
berperan penting untuk meningkatkan self-control individu.
Untuk itu, sosialisasi melalui
literasi digital menjadi hal yang krusial dilakukan pada era digital ini,
khususnya memasuki
era post-truth.
Literasi digital yang memberi titik tekan pada
kemampuan kritis individu dalam menggunakan media digital, dalam hal ini juga termasuk
media sosial, berpijak pada pemprosesan informasi dan melibatkan kompetensi
teknologi, kognitif, dan sosial. Hal tersebut perlu dilakukan agar warganet
lebih peka ketika menyaring informasi dan cakap dalam membedakan informasi
akurat dan tidak. Literasi digital dapat menjadi alternatif cara yang efektif,
dengan mengenalkan tanda-tanda berita palsu, prosedur verifikasi informasi,
hingga menindak lanjuti informasi yang kiranya masuk kategori hoax.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan kecakapan literasi
digital? Secara teoritis, individu dengan tingkat literasi yang tinggi harus
mendapatkan asupan informasi yang baik, kemudian mengaturnya menjadi struktur
pengetahuan yang berguna. Namun dalam praktiknya, meningkatkan kecakapan
literasi digital perlu dilakukan sedini mungkin.Pengenalan literasi digital
pada dunia akademik dapat dimulai dari sosialisasi kurikulum literasi. Seperti
peta kurikulum yang ditawarkan oleh UNESCO, perlu adanya literasi akademik yang
menyasar pada guru, salah satunya agar guru dapat secara kritis mengevaluasi
konten media dan mengevaluasi informasi yang beredar (Grizzle dkk, 2011:18).
Selain upaya tersebut, strategi personal yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan literasi digital, yang diadopsi dari
pemikiran Potter (2004:378) juga dapat diterapkan.
Pertama,
mengembangkan kesadaran akurat akan paparan informasi dengan memilah sumber
yang kredibel. Kedua,
terus memperkaya diri dengan ilmu agar struktur pengetahuan yang kita bangun
menjadi lebih kuat. Ketiga, membandingkan
informasi yang sama dari satu platform media ke media lainnya agar bisa
mendapatkan banyak sudut pandang. Keempat,
berkaca pada opini pribadi, apakah opini tersebut
sudah cukup rasional dengan segala sumber informasi yang kita punya. Terakhir, menumbuhkan budaya
verifikasi dan aktif mengoreksi informasi palsu yang beredar.
Literasi digital ini dapat diterapkan untuk
menciptakan filter manual pada peredaran informasi di media sosial. Ketika
permasalahan sistem dan algoritma digital tidak mampu memberikan iklim yang
sehat pada lalu-lintas informasi media sosial, peran akun-akun yang dijalankan
oleh manusia kemudian harus bekerja secara aktif. Dengan fitur report, setiap akun pada
media sosial akhirnya memiliki otoritas dalam melaporkan gejala berita palsu
yang mereka temukan. Sehingga, sistem yang ada dalam media sosial bisa
menindaklanjuti temuan tersebut dengan secara otomatis memblokir akun ataupun menyematkan
simbol konten sensitif. Pada tahapan yang lebih lanjut, masyarakat juga bisa
memanfaatkan layanan aduan konten yang disediakan oleh Kementrian Komunikasi dan
Informatika dengan mengirimkan e-mail ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Apabila tahapan ini berhasil dilakukan, perlahanlahan iklim media sosial akan
berkembang menjadi lebih sehat.
SIMPULAN
Peningkatan literasi digital sebagai bentuk self control menjadi
solusi untuk mencegah kasus peredaran informasi palsu (hoax) menjadi berulang
dan semakin banyak. Literasi digital dapat menjadi cara yang efektif untuk
menanggulangi informasi palsu (hoax)
di era post-truth, dengan mengenalkan tanda-tanda berita palsu, prosedur verifikasi informasi,
hingga menindaklanjuti informasi yang kiranya masuk kategori hoax. Para era post-truth, batasan antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur, demikian juga
dengan kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi, sehingga menjadi
sebentuk tantangan tersendiri bagi pengguna media sosial.
Literasi digital yang memberi titik tekan pada
kemampuan kritis individu dalam menggunakan media digital, dalam hal ini juga termasuk
media sosial, berpijak pada pemprosesan informasi dan melibatkan kompetensi
teknologi, kognitif, dan sosial. Hal tersebut perlu dilakukan agar warganet
lebih peka ketika menyaring informasi dan cakap dalam membedakan informasi
akurat dan tidak. Untuk menumbuhkan literasi digital pada level individu, kita
bisa melakukan upaya dalam beberapa cara. Pertama, mengembangkan kesadaran akurat akan paparan informasi dengan memilah
sumber yang kredibel. Kedua,
terus memperkaya diri dengan ilmu agar struktur pengetahuan yang kita bangun
menjadi lebih kuat. Ketiga,
membandingkan informasi yang sama dari satu platform media ke media lainnya
agar bisa mendapatkan banyak sudut pandang. Keempat,
berkaca pada opini pribadi atas sebuah isu,
apakah opini tersebut sudah cukup rasional dengan segala sumber informasi yang
kita punya. Terakhir, menumbuhkan budaya verifikasi dan aktif mengoreksi informasi palsu
yang beredar.
Upaya literasi digital hingga saat ini merupakan
cara terbaik untuk menanggulangi hoaxsebagai salah satu bentuk kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung
jawab. Perlu sosialisasi secara menyeluruh agar dapat tercipta ketahanan
sosial, warganet yang cerdas
dan selektif dalam memilah informasi, demi iklim media sosial yang lebih sehat.
Referensi :
Adiputra, Wisnu Martha. (2008). Literasi
Media dan Interpretasi atas Bencana. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 11 (3), 1-20. Diakses melalui https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/10992
Akers, R. (1991). Self-Control
as a General Theory of Crime.
Journal of Quantitative Criminology, 7(2), 201-211. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/23365747
Chase, Z., & Laufenberg, D. (2011). Embracing the Squishiness of Digital Literacy. Journal of Adolescent & Adult Literacy, 54(7), 535-537. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/41203403
Eshet-Alkalai, Yoram & Soffer, O. (2012). Guest Editorial - Navigating in the Digital Era: Digital Literacy: Socio-Cultural and
Educational Aspects. Journal of Educational Technology & Society, 15(2), 1-1. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/jeductechsoci.15.2.1
Grizzle, A., Wilson, C., Tuazon, R., & Cheung C.K (eds). (2011). Media and Information Literacy. Curriculum for Teachers. UNESCO.
Kaplan, Andreas M. & Haenlein, Michael. (2010). Uses of the World, Unite! The Challenges and Opportunities of
Social Media. Business Horizons, 53 (1), 59-68. Diakses melalui
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0007681309001232
Keersmacker, Jonas De & Roets, Arne. 2017. ‘Fake News’: Incorrect, but hard to correct. The Role of
Cognitive Ability on the Impact of False Information on Social Impressions. Diakses melalui Intelligence 65, p. 107-110.
Keyes, Ralph. (2004). The
Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. New York: St Martin’s Press.
Lanham, R. (1995). Digital
Literacy. Scientific American, 273(3), 198-200. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/24981795
Lewandowsky, Stephan dkk. (2017). Beyond
Misinformation: Understanding and Coping with the “Post-truth” Era. Diakses melalui Journal of Applied Research in Memory and Cognition 6, p. 353-369. Oxford, 2016. Word of the Year. https://en.oxforddictionaries.com/word-of-theyear/ word-of-the-year-2016
Potter, W. James. (2001). Media
Literacy 2nd Edition. California: Sage
Publications.
Potter, W. James. (2004). Argument
for the Need for a Cognitive Theory of Media Literacy.
American Behavioral Scientist,
48 (2), 266-272. Diakses melalui
http://journals.sagepub.com.ezproxy.ugm.ac.id/doi/pdf/10.1177/0002764.
Pratama, Aditya Hadi. (2017). Perkembangan
Pengguna Internet di Indonesia Tahun 2016 Terbesar di Dunia. Diakses melalui https://id.techinasia.com/pertumbuhanpengguna- internet-di-indonesia-tahun-2016
Roese, V. (2018). You wont believe how co-dependent they are : Or:
Media hype and the interaction of news media, social media, and the user. In
Vasterman P.
(Ed.), From Media Hype to Twitter Storm: News
Explosions and Their Impact
on Issues, Crises, and Public Opinion (pp. 313-332). Amsterdam: Amsterdam
University Press. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/j.ctt21215m0.19
Van Dijck, José. (2013). The Culture of Connectivity. A Critical
History of Social Media. New York: Oxford
University Press.
Yates, Simeon. (2016). ‘Fake
News’ – Why People Believe It and What Can Be Done to Counter It. Diakses melalui https://ethicaljournalismnetwork.org/fake news-peoplebelieve-can-done-counter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar