Urgensi
Pelaksanaan Program BK Komprehensif pada Jalur Pendidikan Formal
Oleh :
Iman Lesmana
Sejatinya, keberadaan
bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan di Indonesia bukan sesuatu yang dipaksakan
karena bimbingan dan konseling merupakan konsekuensi logis dari hakikat
pendidikan itu sendiri. Dalam perspektif historis, eksistensi bimbingan dan
konseling di Indonesia mulai dirintis pada
pertengahan tahun enam puluhan. Dalam kurun waktu lebih dari empat puluh tahun,
perkembangan bimbingan dan konseling
telah melewati beberapa periode yaitu dekade 60-an (perintisan), dekade
70-an (penataan), dekade 80-an (pemantapan), dan dekade 90-an
(profesionalisasi). Namun demikian,
profesi bimbingan dan konseling masih dirundung banyak masalah terutama pada
tataran praksisnya (Surya, 1994).
Meskipun
telah memiliki sejarah yang panjang, namun masih ditemukan kelemahan dalam implementasi layanan
bimbingan dan konseling. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya berbagai kritikan, keluhan, dan komentar miring dari
siswa dan tenaga kependidikan lain melalui ungkapan “guru pembimbing di sekolah tidak siap pakai,
guru pembimbing sebagai polisi sekolah,
kegiatan bimbingan tidak perlu diikuti siswa karena tidak ada nilainya, dan
pekerjaan utama guru pembimbing adalah mencari kesalahan siswa. Bagaimana
potret utuh kinerja bimbingan dan konseling di sekolah sampai ini belum
memperoleh jawaban yang memuaskan. Namun terdapat beberapa penelitian yang
dijadikan barometer kinerja bimbingan dan konseling di sekolah. Misalnya,
Asrori (1990) menemukan bahwa keterampilan konseling guru pembimbing belum
memenuhi harapan siswa.
Penelitian Juntika (1993)
menemukan kurangnya kemampuan guru pembimbing dalam menangani dan menggali
masalah yang dihadapi siswa, kurangnya keterlibatan siswa dalam pemecahan
masalah, dan adanya kecenderungan guru pembimbing untuk memaksakan kehendak
kepada siswa. Penelitian Supriadi (1990) memperlihatkan bahwa 38% orang tua
siswa belum menerima keberadaan program bimbingan dan konseling dengan alasan
kurang profesionalnya guru pembimbing dalam menjalankan tugas. Begitu juga,
hasil penelitian Ifiandra (2007) di Kabupaten dan Kota Bandung menunjukkan
bahwa sebanyak 64% kinerja guru pembimbing termasuk tidak memuaskan. Penelitian Marjohan (1994) menunjukkan bahwa 39,47% konselor yang dapat
menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori “tinggi”, sebanyak 60,53% konseor mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori “sedang”.
Pada tataran praksis, implementasi layanan
bimbingan dan konseling di sekolah masih menggunakan paradigma lama, bahkan
cenderung tradisional. Hal ini dapat dilihat dari orientasi bimbingan yang
hanya untuk siswa bermasalah, lebih berfokus pada pekerjaan klerikal daripada
layanan yang berfokus membantu siswa, kegiatan layanan masih bersifat sporadis, waktu konselor lebih banyak
dihabiskan untuk non-guidance activities,
konselor jarang melakukan evaluasi, konselor bekerja secara soliter, dan
layanan bimbingan dan konseling seperti tersegmentasi dari visi dan misi
sekolah. Terdapat banyak aras analisis untuk menjelaskan fenomena kinerja
konselor yang kurang memuaskan ini, salah satunya adalah masih terbatasnya daya
dukung instrumental bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan konseling (BK) merupakan profesi yang
sedang tumbuh
dan berkembang (growing profession). Untuk mengukuhkan eksistensinya, profesi BK terus menata
diri dengan melakukan berbagai inovasi. Wujud inovasi BK terentang dari yang
bersifat instrumental sampai pada substansi layanan. Dalam konteks konteks
instrumental, berbagai model, program, metode, teknik, strategi telah berhasil
dikembangkan, meskipun data tentang efikasi
berbagai inovasi
layanan bimbingan dan konseling tersebut belum terhimpun secara memadai.
Model BK komprehensif merupakan salah satu bentuk inovasi
kontemporer dalam profesi bimbingan dan konseling. Model BK komprehensif
berbeda secara substansial dengan model bimbingan yang berlangsung selama ini. Perbedaan ini mencakup aspek filosofi, prinsip, tujuan, isi, strategi,
dan komponen. Adopsi inovasi model bimbingan dan konseling sejatinya
mengindahkan lingkungan perkembangan siswa. Dengan demikian,
mengimplementasikan model BK komprehensif secara langsung tanpa memperhatikan
konteks lingkungan perkembangan siswa yang riil merupakan tindakan kurang bijaksana.
Model bimbingan dan konseling
komprehensif bersifat sistemik, bukan sekedar sistematis. Model BK yang
sistematik adalah pelaksanaannya sesuai dengan rencana, tertata baik sejak
perencanaan, pendataan, implementasi, dan evaluasi. Sementara model BK yang sistemik adalah model BK yang
dirancang untuk menjangkau berbagai pihak, mulai dari siswa sebagai individu
maupun kelompok, komunitas sekolah, keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Pendekatan sistemik dalam model BK
komprehensif menempatkan individu sebagai pusat sistem dan menciptakan hubungan
antar subsistem yang mempengaruhi individu ke arah perkembangan positif
(Erford, 2004).
Model BK komprehensif (yang sistemik) membutuhkan kebijakan
pendidikan di sekolah yang integratif, yaitu adanya keselarasan antara
kebijakan dalam bidang pengajaran, bimbingan, pelatihan, kegiatan
ekstrakurikular, kebijakan keuangan-sarana-prasarana, personalia. Model BK
Komprehensif membutuhkan dukungan sekolah (dengan payung kebijakan) yang adil
dan setara sehingga sekolah memberikan perhatian memadai dan setara kepada
semua unsur yang penting bagi jalannya proses pendidikan. Dukungan finansial
memadai, fasilitas memadai, pemberian waktu yang memadai untuk pembimbingan,
pengajaran, dan kegiatan pendidikan lain di sekolah adalah bukti kebijakan
pendidikan yang integratif di sebuah lembaga pendidkan.
Selain sebagai prasyarat, kebijakan pendidikan yang
terintegrasi juga (dapat) merupakan dampak dari model BK Komprehensif yang terbukti kualitasnya.
Kualitas model BK, hasil dan dampaknya yang positif akan melahirkan kepercayaan
masyarakat sekolah (dewan guru, administrator sekolah, siswa-siswi, orang tua,
komite sekolah). Kepercayaan masyarakat sekolah yang besar akan melahirkan
dukungan optimal bagi model BK tersebut, sehingga model BK menjadi semakin komprehensif.
Model BK komprehensif dirancang menjadi bagian integral dari
proses pendidikan di sekolah. Integrasi antara model BK dan keseluruhan program
pendidikan di sekolah yang bertujuan mengembangkan aspek intelektual, dan
berbagai keterampilan hidup diharapkan akan memberi pengaruh terhadap
pembentukan kompetensi peserta didik yang lebih utuh. Integrasi semacam ini
membutuhkan kesamaan visi lembaga pendidikan dan semua komponen yang terlibat
dalam proses pendidikan, sehingga proses pendidikan (dan bimbingan) yang
kolaboratif dapat diciptakan.
Berdasarkan uraian di atas, maka
diperlukan suatu upaya untuk mengembangkan model bimbingan dan konseling
komprehensif pada jalur pendidikan formal, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan mutu layanan bimbingan dan konseling untuk setiap jenjang
pendidikan formal yang meliputi SD, SLTP,
dan SLTA. Selain berdasarkan pertimbangan empirik kinerja aktual
konselor sekolah, pengembangan model bimbingan dan konseling komprehensif juga
merupakan bentuk tranformasi keilmuan bimbingan dan konseling, sebab menurut
Muro dan Kottman (1994) pendekatan komprehensif
lah yang selaras dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan siswa. Lebih
tegas lagi, Gysbers dan Henderson (2006)
mengemukan bahwa organisasi bimbingan dan konseling sudah saatnya melakukan
transisi dari model service (services
model) menuju model komprehensif (comprehensive
model), meskipun transisi tersebut tidak dapat
terjadi secara mudah, otomatis, atau berlangsung
secara cepat.
Model bimbingan dan
konseling komprehensif dikembangkan oleh Gysbers, et al. (1988) di Universitas Missouri,
Columbia. Model bimbingan ini telah
digunakan oleh sekolah di seluruh negara
bagian Amerika Serikat yang bertujuan membantu pemerintah mengembangkan model
bimbingan komprehensif
untuk siswa Taman Kanak-kanak sampai siswa SLTA secara
sistematis dan menyeluruh. Model ini bertujuan agar siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi
kepribadian secara utuh.
Model bimbingan komprehensif memiliki empat unsur, yaitu: (1) content elemen, (2) organizational
framework, (3) resource element, (4) development, management, and
accountability element. Elemen isi berisi kompetensi
standar yang harus dikuasai oleh siswa; elemen kerangka kerja
pengorganisasian terdiri dari komponen
struktural (definisi, asumsi, rasional) dan komponen program (kurikulum
bimbingan, perencanaan individual, layanan responsive, sistem dukungan); elemen sumberdaya (personel, finansial,
politis) dan elemen manajemen
(perencanaan, disain, implementasi, evaluasi, dan penguatan) Gysbers dan Henderson (2006).
Elemen inti (content
element) model bimbingan
komprehensif didasarkan konsep pengembangan diri melalui integrasi
peran, latar, dan peristiwa dalam kehidupan pribadi (Gysbers & Moore, 1985).
Model bimbingan ini menekankan tiga aspek pengembangan diri yaitu
pengembangan pemahaman diri dan kompetensi-kompetensi antarpribadi,
pengembangan peran-peran dalam berbagai setting dan peristiwa kehidupan,
dan pengembangan perencanaan karir
kehidupan.
Dalam mengembangkan pemahaman diri, bimbingan berfokus
pada upaya membantu siswa untuk memahami dan menerima diri serta orang lain,
menyadari karakteristik-karakteristik pribadinya yang meliputi minat-minatnya,
aspirasi-aspirasinya, serta kompetensi-kompetensinya. Dalam mengembangkan
kompetensi-kompetensi antarpribadi, bimbingan berfokus pada kegiatan belajar
hubungan interaksi antardiri dan lingkungan, membantu siswa belajar bagaimana
menciptakan dan memelihara hubungan antarpribadi serta mengembangkan standar
dan tujuan hidup. Dalam mengembangkan peran-peran dalam berbagai latar dan
peristiwa kehidupan, bimbingan berfokus pada upaya membantu siswa memahami
aspek-aspek sosiologis, psikologis, dan struktur ekonomi masyarakat yang ada di
sekitarnya; mendorong siswa untuk mengatasi prasangka; dan membantu siswa
merencanakan masa depannya. Sedangkan dalam mengembangkan perencanaan karir
kehidupan, bimbingan berfokus pada upaya membantu siswa memahami
keputusan-keputusan yang dibuatnya dan membantu merencanakan kehidupannya.
Bimbingan komprehensif melibatkan konselor, guru,
administrator, orang tua, siswa, anggota masyarakat sebagai nara sumber dalam implementasi model bimbingan.
Konselor bertugas memberikan layanan-layanan dan mengkoordinasikan implementasi, bekerja sama dan mendukung para guru dan administrator agar program
tersebut berhasil. Orang tua
dan anggota masyarakat, dilibatkan dalam program bimbingan
melalui wadah komite penasihat yang
bertugas memberikan rekomendasi dan layanan-layanan pendukung terhadap konselor
dan orang-orang yang terlibat dalam program.
Keterlibatan staf pengajar adalah sangat penting, oleh sebab itu guru
harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan
implementasi program. Konselor dan guru harus bekerja sama dalam merencanakan
'peluncuran kurikulum bimbingan'. Kegiatan-kegiatan bimbingan disajikan dalam
bidang materi yang tepat, sehingga posisi guru tidak dirasakan diganti oleh
konselor dalam kelas.
Penelitian tentang keefektifan model bimbingan dan konseling komprehensif
dalam mengembangkan kompetensi telah dilakukan oleh beberapa ahli.
Penelitian Gysbers, et al. (1988)
menunjukkan bahwa sekolah-sekolah menengah tingkat atas di Alaska yang
menerapkan model bimbingan komprehensif terbukti dapat membantu siswa memahami
dirinya dan merencanakan karirnya. Hasil
ini diperkuat oleh penelitian Sheldon & Morgan yang menunjukkan bahwa model
bimbingan komprehensif ini secara signifikan mampu meningkatkan prestasi
belajar dan konsep diri siswa. Selanjutnya penelitian Sheldon & Morgan
(1992) menunjukkan bukti bahwa orang tua yang dilibatkan dalam program
bimbingan komprehensif berbasis kompetensi ini mengatakan bahwa anak mereka
memiliki sikap yang lebih positif terhadap sekolah dibandingkan dengan anak
yang lainnya. Selanjutnya orangtua tersebut memberikan laporan bahwa setelah
mereka terlibat dalam bimbingan komprehensif berbasis kompetensi, pemahaman
mereka terhadap anaknya menjadi lebih baik dan mereka lebih berpartisipasi
dalam pendidikan anaknya.
Sehubungan dengan strategi intervensi dalam bimbingan
komprehensif, Bonebrake & Borgers (1992) mengemukakan hasil penelitiannya
bahwa para kepala sekolah dan konselor sekolah tingkat atas sangat menekankan
strategi konseling individual dan kelompok, bimbingan kelas, konsultasi dengan
guru dan orang tua, serta koordinasi dalam program bimbingan. Selanjutnya
penelitian Miller (1998) menunjukkan
bahwa para konselor di sekolah tingkat dasar dan menengah di Amerika Serikat
memandang penting strategi konseling dan konsultasi itu dalam program bimbingan
komprehensif. Penelitian Gerler (1992)
menunjukkan bahwa program bimbingan dan konseling komprehensif di sekolah
secara positif mempengerauhi faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan
pendidikan/belajar siswa termasuk perilaku di kelas, sikap terhadap sekolah,
kehadiran sekolah dan pembuatan keputusan
Tradisi penelitian mengenai dampak implementasi layanan
bimbingan dan konseling terhadap pengembangan kompetensi siswa di sekolah masih
minim. Khusus mengenai bimbingan dan konseling komprehensif, beberapa mahasiswa
Program Pascasarjana IKIP Bandung pada tahun 1998 mulai menginisiasi
pengembangan model bimbingan komprehensif pada jalur pendidikan formal sebagai
bagian dari
syarat penyelesaian studi. Penelitian tersebut berhasil
mengembangkan prototipe model bimbingan dan konseling komprehensif untuk Sekolah Dasar (Ahman, 1998), Sekolah
Menengah Pertama (Soeharto, 1998), Sekolah Menengah Atas (Juntika, 1998);
Sekolah Menengah Kejuruan (Syamsu Yusuf, 1998), Perguruan Tinggi (Dwi Yuwono,
1998). Sepanjang tahun 2001-2003, Sunaryo Kartadinata melakukan penelitian
mengenai Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan (ATP) yang
dilanjutkan dengan pengembangan Inventori Tugas Perkembangan (ITP) dalam rangka
peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling komprehensif di sekolah.
Masalah klasik dalam penelitian bimbingan dan konseling
di sekolah adalah adanya kecenderungan penelitian tersebut sebagai academic exercise sehingga
kebermanfaatan bagi peningkatan mutu manajemen dan layanan bimbingan dan
konseling pada
tataran praksis masih jauh dari harapan. Tidak adanya keberlanjutan
kegiatan penelitian menyebabkan sulitnya menemukan fakta empiris mengenai
inovasi bimbingan dan konseling. Bahkan sejak tahun 2003, tidak ditemukan lagi
penelitian untuk mengokohkan posisi model bimbingan dan konseling komprehensif di
sekolah, khususnya di lingkungan Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, bahkan pada tataran praksis sampai saat ini
masih terdapat tanda tanya, model bimbingan dan konseling apa yang
diimplementasikan selama ini di sekolah.
Berikut
dikemukakan
beberapa alasan melakukan pengembangan model bimbingan dan konseling komprehensif di jalur pendidikan
formal.
(1) model bimbingan dan
konseling komprehensif di jalur
pendidikan formal ini dilandasi oleh paradigma pendidikan. Paradigma ini
menjungjung tinggi nilai-nilai luhur manusia dan kemanusiaan. Paradigma ini mengarah pada upaya peningkatan hidup yang lebih baik bagi
manusia. Ini berarti bahwa upaya pendidikan tidak mungkin melepaskan diri dari
pengakuan dan perealisasian suatu kesatuan norma. Sehubungan dengan norma dan
nilai dalam bimbingan, model ini menekankan konsep konselor tidak bersifat
netral terhadap nilai-nilai yang dianut klien, tetapi siap membicarakan secara
terbuka dan terus terang tentang nilai-nilai itu.
(2) model bimbingan dan
konseling komprehensif
di jalur pendidikan formal ini menganut pola bimbingan yang
holistik. Pola ini mempunyai makna bahwa layanan yang diberikan merupakan suatu
keutuhan yang mencangkup berbagai dimensi yang terkait. Di dalam hubungannya dengan
lingkungan pendidikan, bimbingan dilaksanakan secara terpadu, kerja sama antara
personel bimbingan dengan personel sekolah lainnya, keluarga, dan masyarakat.
Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi
kurikuler, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Pola bimbingan seperti
ini secara hipotesis sesuai dengan kondisi lapangan di Indonesia dewasa ini
maupun di masa yang akan datang.
(3) model bimbingan dan
konseling komprehensif
di jalur pendidikan formal ini
relative baru dikenal di Indonesia, oleh karena itu perlu pengembangan lebih
lanjut. Agar model bimbingan ini dapat dilaksanakan di jalur pendidikan formal,
maka model ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan masalah di lapangan,
serta mempertimbangkan model bimbingan aktual yang dilaksanakan di lapangan.
(4) secara umum, model ini memberikan sumbangan pada peningkatan kompetensi
kemandirian peserta didik
secara utuh. Keutuhan
pengembangan domain perkembangan siswa didasarkan pada pendekatan
dan konsep perkembangan manusia seutuhnya. Model bimbingan dan konseling komprehensif tidak mengutamakan orientasi terapeutik klinis semata melainkan
berorientasi preventif-perkembangan.
(5) pada
tataran praktis, studi ini memberikan sumbangan pada lembaga pendidikan dan
konselor di sekolah. Lembaga tersebut dapat memanfaatkan hasil studi untuk
meningkatkan mutu
layanan bimbingan dan konseling bagi peserta dari setiap jenjang
pendidikan didik.
Proses
pengembangan dan produk model bimbingan dan
konseling komprehensif di jalur pendidikan
formal ini dapat mengisi kebutuhan tersebut sekaligus mengurangi distorsi konseptual dan
disparitas imlementasi layanan bimbingan dan konseling antar sekolah yang
selama ini masih terjadi.
1. Sejarah Singkat Model
Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Pada awal tahun 1970 an di Amerika Serikat, gerakan
pendekatan komprehensif terhadap program bimbingan dan konseling meningkat yang
diistilahkan dengan“developmental
outcome-terms” (Gysbers dan Henderson, 2006). McDaniel (1970)
memperkenalkan sebuah model bimbingan Youth
Guidance System yang terdiri dari rumusan tujuan, target, program, rencana
implementasi, dan disain evaluasi. Mirip dengan model ini adalah Comprehensive Career Guidance System
yang dikembangkan oleh American Institute
for Research. Pada tahun 1971, Universitas Missouri memperoleh hibah untuk
mengembangkan program bimbingan, konseling, dan penempatan untuk negara bagian
Columbia yang diketuai oleh Norman C. Gysbers.
Pada tahun
1974, gagasan mengenai bimbingan komprehensif mendapat dukungan penuh
dari ASCA yang dituangkan dalam dokumen berjudul ”The School Counselor and the Guidance Counseling Program”. Pada
tahun 1980, Gysbers dan Moore memberikan orientasi mengenai langkah demi
langkah dalam pengembangan dan implementasi program bimbingan konseling
komprehensif di sekolah dalam buku yang berjudul ”Improving Guidance Program”. Negara bagian Missouri
mempublikasikan ”Missouri Comprehensive
Guidance yang berisi pokok-pokok pikiran bagaimana mengembangkan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi program bimbingan di sekolah. Pada akhir
tahun 1980 an, beberapa negara bagian seperti Alasak, Idaho, New Hampshire, dan
Utah meluncurkan dokumen mengenai program bimbingan komprehensif. Survey
nasional yang dilakukan oleh Sink dan Mac Donald melaporkan hampir setengah
dari negara bagian di Amerika Serikat telah mengembangkan model bimbingan dan
konseling komprehensif, dan diakhir tahun 1990 diperikiran 34 atau lebih negara
bagian menerapkan program bimbingan komprehensif.
Pada awal abad 21, pengembangan dan implementasi
program bimbingan dan konseling komprehensif di sekolah semakin pesat. Tahun
2000, Connecticut School counselor
Association bekerjasama dengan Connecticut
State Department of Education mengembangan Connecticut Comprehensive School Counseling Program. Hal ini
diikuti oleh negara bagian Nebraska, Florida, Iowa, Oregon, Texas, dan Michigan
School Counselor Association yang mempublikasikan Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program. Tahun 1998,
ASCA mengeluarkan dokumen Sharing the
Vision: The National Standars for School Counseling Program yang menjadi
standar isi program bimbingan dan konseling komprehensif. Tahun 2003, The ASCA
National Model diluncurkan sebagai pedoman bagi konselor sekolah dalam
mengimplementasikan program bimbingan dan konseling komprehensif. Tahun 2004,
diperkenalkan Leaderships Model sebagai pendukung bagi implementasi program
bimbingan dan konseling komprehensif.
2. Elemen Model Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Model bimbingan komprehensif memiliki empat unsur, yaitu: (1) content elemen, (2) organizational
framework, (3) resource element, (4) development, management, and
accountability element. Elemen isi berisi kompetensi
standar yang harus dikuasai oleh siswa; elemen kerangka kerja
pengorganisasian terdiri dari komponen
struktural (definisi, asumsi, rasional) dan komponen program (kurikulum
bimbingan, perencanaan individual, layanan responsive, sistem dukungan); elemen sumberdaya (personel, finansial,
politis) dan elemen manajemen
(perencanaan, disain, implementasi, evaluasi, dan penguatan) Gysbers dan Henderson (2006). Berikut dijelaskan substansi dari setiap
elemen.
Elemen isi berkenaan dengan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang dimiliki oleh siswa setelah berpartisipasi dalam aktivitas dan
layanan bimbingan dan konseling komprehensif. Untuk mengembangkan komponen
elemen isi ini dapat dilakukan telaah terhadap tujuan pendidikan, visi dan misi sekolah, rencana
strategis daerah. Rujukan utama untuk pengembangan elemen isi adalah kajian
terhadap perkembangan aspek pribadi, sosial, belajar dan karir sebagai dasar
penetapan kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dari setiap tingkat
pendidikan.
Komponen
struktural, komponen ini adalah bagian penting kerangka pengorganisasian
karena menunjukkan esensi program dan dasar filosofi program. Komponen
struktural terdiri dari definisi, asumsi, dan rasional. Definisi merupakan
titik sentral bimbingan dan konseling dalam segenap proses pendidikan sekaligus
arah kompetensi yang akan dikuasai oleh
siswa setelah terlibat dalam program bimbingan dan komprehensif. Aspek rasional
menjelaskan pentingnya program bimbingan dan konseling sebagai bagian integral
dari proses pendidikan dan mendeskripsikan alasan mengapa siswa harus menguasai
kompetensi tertentu. Keefektifan implementasi program bimbingan dan konseling
komprehensif ditentukan oleh sejumlah kondisi. Asumsi merupakan pernyataan mengenai
prakondisi program terkait dengan siswa, staf dan program.
Komponen
program, jika ada proposisi yang menyatakan bahwa posisi tradisional
bimbingan dan konseling sudah tidak tepat lagi, maka pertanyaannya adalah apa
formulasi yang tepat. Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan ini adalah apa
yang diharapkan dari program BK komprehensif. Berdasarkan kajian teori, teknik,
metode, dan sumberdaya program terdiri dari empat komponen interaktif, yaitu
kurikulum bimbingan, layanan responsif, layanan perencanaan, dan sistem
dukungan. Berikut dijelaskan inti dari keempat komponen program BK
komprehensif.
(1)
Layanan
Dasar
Layanan ini bertujuan untuk membantu semua
siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan
memperoleh keterampilan dasar hidupnya, atau dengan kata lain membantu siswa
agar mereka dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya. Secara rinci tujuan
layanan ini untuk membantu siswa agar (a) memiliki kesadaran (pemahaman)
tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, sosial budaya dan
agama), (b) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung
jawab atau seperangkat tingkah laku yang layak bagi penyesuaian diri dengan
lingkungannya, (c) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya, dan
(d) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya. Strategi
yang umum digunakan untuk implementasi kurikulum bimbingan adaah classroom activities dan schoolwide
activities.
(2) Layanan Responsif
Tujuan layanan responsif
adalah membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhannya dan memecahkan masalah
yang dialaminya atau membantu siswa yang mengalami hambatan, kegagalan dalam
mencapai tugas-tugas perkembangannya. Tujuan layanan ini dapat juga sebagai
upaya untuk mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi siswa yang
muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah sosial-pribadi,
karir, dan atau masalah pengembangan pendidikan. Materi
layanan responsif tergantung kepada masalah atau kebutuhan siswa. Kebutuhan ini
seperti kenginan untuk memperoleh informasi tentang bahaya obat terlarang, minuman keras,
narkotika, pergaulan bebas dan sebagainya. Masalah siswa lainnya adalah yang
berkaitan dengan berbagai hal yang dialami atau dirasakan mengganggu kenyamanan
hidupnya atau menghambat perkembangan dirinya yang positif, karena tidak
terpenuhi kebutuhannya, atau gagal dalam mencapai tugas-tugas
perkembangannya.strategi umum dalam layanan responsif adalah individual counseling, small-group
counseling, consultation,dan referral.
(3) Perencanaan Individual
Layanan perencanaan
individual bertujuan untuk membantu
siswa agar (a) memiliki pemahaman tentang diri dan lingkungannya, (b) mampu
merumuskan tujuan, perencanaan, atau pengelolaan terhadap perkembangan dirinya,
baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir, dan (c) dapat
melakukan kegiatan berdasarkan pemahaman, tujuan, dan rencana yang telah
dirumuskannya.Tujuan layanan perencanaan individual ini dapat juga dirumuskan
sebagai upaya memfasilitasi siswa untuk merencanakan, memonitor, dan mengelola
rencana pendidikan, karir, dan pengembangan sosial-pribadi oleh dirinya sendiri.
Isi atau materi perencanaan individual adalah hal-hal yang menjadi kebutuhan
siswa untuk memahami secara khusus tentang perkembangan dirinya sendiri. Dengan
demikian meskipun perencanaan individual ditujukan untuk memandu seluruh siswa,
layanan yang diberikan lebih bersifat individual karena didasarkan atas
perencanaan, tujuan dan keputusan yang ditentukan oleh masing-masing siswa.
Melalui layanan perencanaan individual, siswa dapat: (a) mempersiapkan diri
untuk mengikuti pendidikan lanjutan, merencanakan karir, dan mengembangkan
kemampuan sosial-pribadi, yang didasarkan atas pengetahuan akan dirinya,
informasi tentang sekolah, dunia kerja, dan masyarakatnya; (b) menganalisis
kekuatan dan kelemahan dirinya dalam rangka pencapaian tujuannya, (c) mengukur
tingkat pencapaian tujuan dirinya; (d) mengambil keputusan yang merefleksikan
perencanaan dirinya. Strategi layanan perencanaan individual antara lain individual appraisal, individual advisement,
transition planning, follow-up.
(3) Dukungan Sistem
Ketiga
komponen diatas, merupakan pemberian layanan BK kepada siswa secara langsung.
Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen layanan dan kegiatan manajemen
yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa atau memfasilitasi
kelancaran perkembangan siswa. Program ini memberikan dukungan kepada guru
pembimbing dalam memperlancar penyelenggaraan layanan diatas. Sedangkan bagi
personel pendidik lainnya adalah untuk memperlancar penyelenggaraan program
pendidikan di sekolah. Dukungan sistem ini meliputi dua aspek, yaitu: (a)
pemberian layanan, dan (b) kegiatan manajemen.
Pemberian layanan ini
menyangkut kegiatan guru pembimbing (konselor) yang meliputi (a) konsultasi
dengan guru-guru, (b) menyelenggarakan program kerjasama dengan orang tua atau
masyarakat, (c) berpartisipasi dalam merencanakan kegiatan-kegiatan sekolah,
(d) bekerjasama dengan personel sekolah lainnya dalam rangka mencisekolahakan
lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, (e) melakukan
penelitian tentang masalah-masalah yang berkaitan erat dengan bimbingan dan
konseling. Kegiatan manajemen ini merupakan berbagai upaya untuk memantapkan,
memelihara, dan meningkatkan mutu program bimbingan dan konseling melalui
kegiatan-kegiatan (a) pengembangan program, (b pengembangan staf, (c) pemanfaatan
sumber daya, dan (d) pengembangan penataan kebijakan.
Elemen sumber
daya program, faktor sumberdaya personel, finansial, dan
kebijakan diperlukan untuk implementasi program. Sumber daya personel meliputi
konselor, staf bimbingan, guru, kepala sekolah, orang tua, siswa, angota
masyarakat, dunia usaha yang dapat berperan dalam implementasi program. Sumber
daya finansial mencakup anggaran, peralatan, dan fasilitas yang merupakan hal
krusial bagi keberhasilan program BK komprehensif. Sumber daya politis
berkaitan regulasi pemeritah pusat dan daerah mengenai layanan bimbingan dan
konseling, termasuk pedoman yang dikeluarkan oleh ABKIN.
Elemen
pengembangan, manajemen, dan akuntabilitas
adalah
lima fase transisi yang diperlukan untuk operasional program bimbingan dan
konseling komprehensif yang mencakup perencanaan, disain, implementasi,
evaluasi dan penguatan. Termasuk ke dalam elemen ini adala berbagai tugas
manajerial yang semestinya dilaksanakan dalam setiap fase transisi sehingga
proses perubahan dapat berlangsung secara elegan dan efektif. Terakhir,
akuntabilitas program, personel, dan hasil dapat memberikan kontribusi bagi
penguatan program BK komprehensif di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar