
dalam Menyiapkan Daya Generasi Emas
oleh :
Iman Lesmana
Tulisan
ini didedikasikan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (Setiap 2 Mei) di
Tahun 2020 ini bertepatan dengan proses percepatan penanganan COVID-19 dengan
mekanisme PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan menitikberatkan semua
kegiatan belajar dari rumah (learning
from home), kuliah dari rumah (study
from home), dan bekerja dari rumah (work
from home).
Artikel ini mencoba menjelaskan
strategi pendidikan nasional dalam menghadapi tantangan-tantangan globalisasi.
Globalisasi telah mengubah mindset para pengambil kebijakan di negara-negara
maju di kawasan Asia Timur untuk merubah sistem and tata kelola pendidikan mereka
melalui desentralisasi, marketisasi dan internasionalisasi untuk meningkatkan
daya saing pendidikan mereka. Para pembuat kebijakan di Indonesia harus
mereformasi sistem dan tata kelola pendidikan dalam hal regulasi, aturan dan
pembiayaan. Ada tiga langkah yang harus diambil untuk mengatasi problem
pendidikan nasional: (1) meninjau kembali dan memperbaharui kerangka legal
pendidikan nasional yang lama; (2) meningkatkan proses pendidikan yang mampu
memperkuat keterampilan mengajar dan pembelajaran para pendidik, dan (3)
membangun budaya kewargaan dan mengembangkan kesadaran belajar masyarakat.
Kata Kunci:
pendidikan nasional, daya saing negara, sistem dan tata kelola pendidikan.
Dasar Pemikiran
Salah satu topik yang menarik dan
tidak pernah usang adalah pembicaraan mengenai pendidikan. Pendidikan ada
seiring dengan adanya penciptaan manusia. Pendidikan bukan hanya memiliki dasar
filosofis dan menjadi obyek kajian ilmu tetapi juga memiliki nilai praksis yang
sangat penting bagi upaya regenerasi umat manusia. Pendidikan merupakan wahana
untuk melahirkan generasi penerus dan menjadi kunci bagi kelangsungan suatu
bangsa. Pendidikan telah diakui sebagai medium penting bagi suatu negara dalam membentuk
karakter bangsa sekaligus mencirikan kualitas bangsa tersebut.
Berdasarkan pengalaman negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Belgia, Jerman dan Finlandia, untuk
memajukan negara, diperlukan reformasimelalui bidang pendidikan. Demikian
halnya yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur, seperti Hong Kong, China, Singapura,
Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Negara-negara tersebut melakukan kebijakan
penting dalam rangka menghadapi tantangan sekaligus peluang yang dihadirkan
oleh globalisasi dengan memperkuat daya saingnya secara internal dan eksternal,
yaitu mereformasi system endidikan dan mengubah pengelolaan pendidikan Negara-negara
Asia Timur memanfaatkan isu-isu krisis keuangan dunia pada tahun 1997 atau 1998
dan tantangan globalisasi yang ditopang oleh pertumbuhan sektor ekonomi,
sosial, politik dan didukung oleh perkembangan teknologi informasi untuk
bangkit dari keterpurukan.
Buktinya saat ini sudah dapat
disaksikan bahwa negara-negara tersebut masuk dalam jajaran negara maju dan
memiliki tingkat daya saing yang tinggi dalam dunia internasional. Pendidikan
telah diyakini sebagai “agent of change”. Sementara itu
dalam konteks ke-Indonesiaan, dapat dikatakan bahwa sejak krisis keuangan yang
menimpa Indonesia sampai sekarang, bangsa Indonesia masih berjuang untuk
membangun sikap dan mental budaya masyarakat untuk memiliki daya saing. Menurut
Ali (2014:1), lahirnya reformasi di Indonesia sejak tahun 1998 telah
membangkitkan kembali harapan masyarakat tentang pembangunan nasional untuk menuju
bangsa Indonesia yang mandiri, maju, makmur dan berdaya saing tinggi. Mandiri
berarti mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain
dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Maju bermakna tingkat
kemakmuran yang juga tinggi disertai dengan sistem dan kelembagaan politik dan
hukum yang mantap. Adil berarti tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun,
baik antar individu, gender, maupun wilayah. Makmur berarti seluruh kebutuhan
hidup masyarakat Indonesia telah terpenuhi sehingga dapat memberikan makna dan
arti penting bagi bangsa-bangsa lain (Kementrian PPN/Bappenas, 2014:1)
Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) khususnya, harapan itu dinyatakan secara eksplisit, terutama
karena tertuang dalam visi pembangunan nasional yaitu untuk menjadikan bangsa
Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Orientasi pembangunan nasional tersebut
termasuk di dalamnya adalah pembangunan sektor pendidikan.
Pendidikan nasional memiliki tanggung
jawab yang berat karena harus menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berdaya
saing tinggi. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar
1945, berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman terbukti belum mampu menghasilkan sumber daya
manusia Indonesia yang kompetitif, kreatif, inovatif dalam percaturan dunia
internasional.
Terdapat persoalan mendasar pada
pendidikan nasional Indonesia. Secara konseptual, teoritik dan regulatif, UU
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menjelaskan orientasi
pendidikan ke depan, namun pada kenyataannya belum mampu diwujudkan secara
baik. Beberapa arah, strategi dan kebijakan pendidikan nasional dirumuskan secara
jelas, namun hasilnya juga belum memuaskan. Situasi demikian menimbulkan
problem yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Apakah
sistem pendidikan nasional Indonesia sudah using dan perlu ditinjau kembali?;
2) Proses pendidikan yang bagaimanakah yang
mampu menjawab permasalahan pendidikan nasional?; dan 3) Faktor apa sajakah
yang mempengaruhi kegagalan proses pendidikan nasional di Indonesia?
Tinjauan Teoritik
Secara teoritik, konsep pendidikan
dapat dilihat dari berbagai sumber. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Kunjana (2012) dalam Ika
(2014), pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan Ki
Hajar Dewantara. Pendidikan yang dimaksud adalah nasionalistik,
naturalistik dan spiritualistik
yang intinya bahwa pendidikan itu memanusiakan
manusia. Bahkan Hardono (2014) menjelaskan ketika mencari beberapa referensi
tentang Ki Hajar Dewantara, ada satu artikel menarik yang menyinggung tentang
komparasi antara konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan konsep “Barat”.
Konsep beliau itu mengedepankan tiga faktor, yaitu“ngerti”(cognitive domain),“ngrasa”(affective domain),
dan “nglakoni (psychomotor domain).
Kedua rumusan tentang konsep
pendidikan tersebut sebenarnya sangat holistik karena telah memadukan unsur
kognitif, afektif dan psikomotorik, suatu ranah yang lazim dikembangkan dalam
dunia pendidikan melalui proses pembelajaran dan pengajaran. Namun demikian,
konsep yang bagus tersebut memerlukan pemahaman secara filosofis dan praksis
dari semua unsur pendidikan, baik pengambil kebijakan (pemerintah), pendidik,
peserta didik, orang tua, masyarakat termasuk pengguna dan penyedia jasa
pendidikan.
Tinjauan Empirik
Secara
empirik, khususnya dari sisi praksis pendidikan, implementasi pendidikan nasional belum sesuai dengan ruhnya
bila ditinjau dari sisi filosofis maupun praksis. Kartadinata (2011)
mempertanyakan apakah praktek penyelenggaraan pendidikan selama ini sudah
berlandaskan kepada mindset utuh ilmu pendidikan dan konsisten dengan makna yang terkandung
di dalam jiwa amanat UU, dalam upaya membawa manusia Indonesia menjadi manusia
yang berwatak, bermartabat, dan cerdas sesuai dengan jiwa amanat yang
digariskan di dalam UU No. 20/2003. Fenomena yang tampak menunjukkan banyak
terdapat kesenjangan antara mindset utuh pendidikan yang terkandung dalam UU No. 20/2003 dengan
mindset pendidikan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, yang
menumbuhkan kultur pendidikan tidak sehat. Jika pendidikan bertanggung jawab
untuk membangun martabat bangsa yang diwujudkan dalam ketahanan hidup bangsa
maka perlu ada upaya penyehatan kultur pendidikan untuk memperbaiki kesenjangan
yang disebutkan. Diperlukan reformasi pemikiran, kebijakan, dan praktek
penyelenggaraan pendidikan yang tidak semata-mata didasarkan atas pemahaman UU
secara tekstual melainkan secara kontekstual dan dilandasi dengan pemaknaan
filosofispedagogis yang berbasis nilai-nilai kultur dan agama.
Kunci utama penyehatan pendidikan
terletak pada reformasi mindset atau tata pikir secara utuh dalam memaknai hakekat dan
praktek penyelenggaraan pendidikan, dan menempatkan ilmu pendidikan sebagai framework dan
landasan kerja bagi penyelenggaraan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan
peserta didik melalui penciptaan suasana dan proses pembelajaran yang mendidik.
Kondisi ini merupakan rongga bagi kebangkitan ilmu pendidikan dalam upaya
menegaskan benang merah pendidikan mulai dari filosofi sampai kepada evaluasi
yang akan harus berimplikasi kepada penguatan pendidikan guru dan penyehatan penyelenggaraan
pendidikan melalui pelurusan mindset
pendidikan, regulasi, praktek, dan
manajemen pendidikan, agar sejalan dengan esensi pendidikan sebagaimana
terkandung dalam jiwa UU No. 20/2003.
Dengan demikian jelaslah bahwa secara
empirik praktek pendidikan masih belum mampu menjawab permasalahan pendidikan
nasional, karena pembelajaran belum menyentuh aspek filosofis dan praktis.
Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut kita tidak dapat menyalahkan pihak pendidik saja, akan tetapi semua
pihak, baik pemerintah, orang tua, peserta didik, pengguna dan penyedia jasa pendidikan harus
bertanggung jawab secara bersama-sama.
Kajian dan Pembahasan
Hasil Kajian
Belajar apa yang dilakukan oleh
Amerika Serikat, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan
landasan yang kuat bagi arti pentingnya pendidikan. Dalam buku yang berjudul “Foundation of Education”
Ornstein dkk (2011) menjelaskan bahwa perubahan harus dimulai dengan
memperbaiki profesi guru dengan alasan bahwa guru yang professional akan
menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas sehingga menghasilkan peserta
didik yang berkualitas pula.
Selanjutnya reformasi sistem
pendidikan perlu dilakukan secara baik. Dalam bukunya “Education Reform and Education Policy in East Asia”, Ka Ho Mok (2006) menjelaskan bahwa salah satu kebijakan
penting dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia di negara-negara Asia Timur
agar mampu bersaing dalam globalisasi adalah dengan mereformasi sistem
pendidikan dan melakukan perubahan pengelolaan pendidikan melalui penetapan
kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk regulasi, provisi dan pendanaan
pendidikan. Sebagai contoh konkrit, apa yang dilakukan oleh Singapura dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah melakukan perubahan
kultur akademik masyarakatnya.
Dengan mengambil contoh dari
pemerintah Singapura, pendidikan benar-benar dijadikan alat efektif untuk
merubah mindset dan kultur masyarakat melalui konsep sekolah berfikir dan
bangsa pembelajar. Selain itu, upaya lain yang perlu dilakukan dalam menguatkan
pemahaman tentang arti pendidikan, khususnya pengajaran dan pembelajaran pada pendidikan
tinggi sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab menghasilkan peserta didik
sesuai disiplin keilmuan adalah menanamkan pemahaman yang benar tentang
disiplin keilmuan untuk menjamin profesionalisme. Hal ini dilakukan untuk
menghindari “malpraktik”pendidikan. Hal ini dijelaskan dalam buku yang berjudul
“A Handbook for Teaching and Learning in
Higher Education: Enhancing Academic Practice”
karya Fry dkk (2009).
Sementara itu, untuk dapat memberikan
acuan bagaimana cara untuk dapat menghasilkan pemimpin lembaga pendidikan maka
salah satu buku yang dapat dijadikan pegangan adalah “Preparing Principals for
a Changing World: Lesson from Effective
School Leadership Programs” karya
Hammond dkk (2010). Buku ini menjelaskan langkah-langkah dalam menyiapkan
kepala sekolah yang komunikatif, kreatif, inovatif dan visioner sehingga mampu
melakukan perubahan pada institusi pendidikan.
Pembahasan
Setelah mencermati beberapa pengalaman
negara-negara maju dalam melakukan upaya melakukan reformasi pendidikan dan pengelolaan
sistem pendidikan maka menurut penulis sudah selayaknya apabila bangsa
Indonesia melalui pemerintah meninjau kembali system pendidikan nasional.
Peninjauan ini bukan berarti harus merubah total sistem pendidikan nasional,
tetapi meninjau kembali beberapa konsep yang kurang relevan dengan tuntutan
perubahan global, khususnya yang terkait substansi pendidikan dan model
pengelolaannya.
Penguatan kembali “core
education” sesuai kultur bangsa Indonesia nampaknya perlu mendapatkan
prioritas. Menurut Nuryanta (2014), beberapa nilai inti (core values)
pendidikan nasional adalah nilai keagamaan, keadilan, kebebasan, persamaan,
cinta tanah air, kesesuaian, kemerdekaan, kebudayaan, kemanusiaan,
kekeluargaan, gotong royong, keramahtamahan,
kedisiplinan, menghargai perbedaan, negara maritime dan kewarganegaraan yang harus
ditumbuhkan sejak awal pendidikan, khususnya mulai dari pendidikan pra-sekolah.
Konsep Negara Maritim yang
diprioritaskan oleh Presiden Joko Widodo perlu mendapat perhatian serius. Kalau
pada konsep sebelumnya“laut” adalah“pemisah” antar pulau, maka sekarang konsep
tersebut telah berubah menjadi “pemersatu” antar pulau. Konsep ini memerlukan perubahan
mindset seluruh warga negara. Masyarakat harus dipahamkan bahwa
laut bukanlah halangan akan tetapi menjadi wahana transportasi untuk negara
maritim, terutama beberapa tahun ke depan yang sangat mungkin menggantikan
transportasi darat. Perubahan mindset
ini harus mulai disebarluaskan kepada
masyarakat melalui pendidikan. Konsekuensi logisnya adalah masyarakat Indonesia
tidak boleh lagi takut “laut”. Maka pembelajaran renang perlu dimasukkan ke
dalam kurikulum, bahkan perlu diwajibkan. Hal ini sejalan dengan ajaran
Rasulullah SAW, bahwa renang adalah salah satu materi pelajaran yang wajib
diberikan kepada peserta didik, sebagaimana sabda Beliau: “ajarilah anak-anakmu memanah, berkuda dan berenang” (HR. Ath-Thawawi).
Sementara itu, konsep sekolah
pemikiran (thinking school) yang dikembangkan oleh pemerintah Singapura dalam
menghasilkan peserta didik yang kritis, kreatif dan inovatif perlu digalakkan
dalam pendidikan di Indonesia. Kalau di Indonesia ada LEMHANAS yang dijadikan sebagai
pendidikan yang strategis dan mendidik kalangan elit politik minoritas
(legislatif, eksekutif, pimpinan perguruan tinggi, militer) maka model ini
dapat diadopsi tetapi pesertanya harus diperluas. Pola pendidikan di LEMHANAS
harus dibangun untuk generasi muda yang potensial sehingga menjaring banyak
peserta didik potensial yang diperlukan dalam mendukung proses pembangunan
bangsa. Alasan ini untuk mengatasi kenyataan bahwa berdasarkan laporan
Kementrian
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
tahun 2014, masih terdapat 2,1% anak usia 7-12 tahun dan 10,5% anak usia 13-15
tahun yang tidak sekolah pada tahun 2012. Sebagian besar anak usia 13-15 tahun
yang tidak sekolah adalah lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke jenjang
SMP/MTs (Kementrian PPN/Bappenas, 2014: 6).
Oleh karena itu, terdapat 10 (sepuluh)
isu strategis yang diangkat untuk mengatasi permasalahan pendidikan berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019 sub-bidang pendidikan. Kesepuluh isu strategis adalah
sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan program Indonesia pintar
melalui wajib belajar 12 tahun
2.
Peningkatan kualitas pembelajaran
3.
Peningkatan manajemen guru, pendidikan
keguruan, dan reformasi LPTK
4.
Peningkatan akses, kualitas, relevansi
dan daya saing pendidikan tinggi
5.
Peningkatan pendidikan dan
pengembangan anak usia dini
6.
Peningkatan ketrampilan kerja dan
penguatan pendidikan orang dewasa
7.
Peningkatan pendidikan agama,
pendidikan kewargaan dan pendidikan karakter untuk mendukung revolusi mental
8.
Peningkatan efisiensi pembiayaan
pendidikan
9.
Peningkatan tata kelola pendidikan
(Kementerian PPN/Bappenas, 2014:4).
Kesepuluh isu strategis tersebut
sangat penting untuk dipahami oleh semua pihak, khususnya para pendidik untuk
mendapatkan penguatan dari sisi filosofis, epistimologis dan aksiologis
sehingga memudahkan dalam implementasi praksisnya. Konsep ini perlu mendapatkan
penguatan dalam proses pembelajaran sehingga pemahaman filosofis dan praksis
dapat diperoleh dalam penelaahan peserta didik. Bahkan secara lebih tegas Abin
Syamsuddin Makmun (2014:17) menyebutkan bahwa kemungkinan model lain dalam
ranah telaahan bidang pendidikan itu, ialah berdasarkan pertimbangan
kepentingan pengembangan ‘body of knowledge’ dan pengayaan khazanah ilmiah disiplin ilmu pendidikan itu
sendiri, seperti yang banyak diminati oleh masyarakat akademik di perguruan
tinggi. Dalam hal ini, Abin menawarkan suatu model diagramatik-sirkular yang
menunjukkan posisi dan interelasi antara bidang disiplin kajian keilmuan sesuai
dengan struktur organisasi kelembagaan disiplin ilmu kependidikan yang secara
faktual eksis hingga saat ini.
Lebih lanjut Abin menjelaskan bahwa
ditinjau dari segi substansi bidang telaahannya dapat dikategorikan ke dalam
tiga lapisan (layers), yaitu Disiplin
Ilmu Pendidikan (FIP/JIP) sebagai
intinya (core, central, nucleus) pada lapisan pertama (A), kemudian bidang-bidang Pendidikan Disiplin Ilmu pada
layer kedua (B.1-dst), serta bidang-bidang
Disiplin Ilmu lain pada lapisan ketiga (C.1-dst). Ketiga lapisan
gugus bidang keilmuan itu ternyata memperlihatkan adanya semacam “sharing”
secara substansial, A dengan B, B dengan A dan C serta C dengan B.
Dengan adanya strategi penelaahan yang benar, diharapkan
sebuah perencanaan, regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan memperoleh
penguatan keilmuan sehingga memiliki nilai filosofis akademis bukan hanya
tekstual normative saja. Proses pendidikan harus memberikan ruang yang lebih
bagi terselenggaranya pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran yang lebih interaktif,
humanis, demokratis, dialogis, dan analitis-kritis sehingga kajian pendidikan
mengenai pada sasaran yang diinginkan.
Metode pembelajaran pada pendidikan
tinggi diharapkan lebih berorientasi pada observation-based
(discovery) learning dan collaborative
learning dan mempertimbangkan aspek neurologi
dan psikologi (Paparan Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum 2013 pada tanggal 16
Maret 2013).
Pendidikan merupakan salah satu
mekanisme untuk mendorong terjadinya perubahan baik dalam pengetahuan maupun
untuk perbaikan ekonomi keluarga. Selama ini pendidikan dijadikan sebagai
sarana pembelajar bagi berbagai kalangan, tanpa memandang agama, etnis, tingkat
ekonomi maupun kedalaman pengetahuan. Sekolah dijadikan sebagai laboratorium
untuk berbagai kalangan berinteraksi saling kenal satu sama lain dan sharing
pengalaman hidup tanpa melihat adanya perbedaan. Peserta didik bisa saling
mengenal budaya, agama, bahkan gaya dan selera dari berbagai kelas sosial masyarakat
tanpa ada sekat. Pendidikan berjalan tanpa pembedaan sekat golongan sehingga
ada proses pembelajan untuk saling kenal dan bersimpati antar peserta didik.
Sekolah (negeri) sering dijadikan potret keberagaman peserta didik. Sekolah
homogen ditandai dengan kesamaan karakteristik peserta didik, entah karena
persamaan ekonomi, golongan, agama maupun etnisitas. Kecenderungan ini
tampaknya semakin marak dengan tumbuhnya sekolah-sekolah elit, berlabel internasional,
unggul dalam hal sarana dan prasarana yang tumbuh subur di kotakota besar, yang
uniknya makin digemari masyarakat urban. Sekolah-sekolah tersebut hanya bisa
diakses oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah keatas dan tidak
memungkinkan bagi golongan ekonomi bawah. Hal yang sama juga muncul
disekolah-sekolah berbasis keagamaan.
Program pemerataan hasil
pembangunan yang diharapkan dapat mencakup seluruh masyarakat, pada
kenyataannya justru dinikmati oleh golongan mampu, terutama elit atau kelas
menengah yang dekat dengan penguasa. Diperkirakan hanya sekitar 20 % golongan
masyarakat menengah bawah yang dapat menikmati hasil pembangunan.
Kondisi ini memunculkan kesenjangan
sosial ekonomi yang semakin lebar. Akumulasi modal terjadi tetapi hanya pada
segelintir orang. Kemudahan akses kerja sama dinikmati pengusaha besar,
berbagai bidang usaha mereka kuasai sedangkan masyarakat miskin masih dililit
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Akibatnya, upaya peningkatan
kualitas manusia terhambat dan menganggu pengembangan sumber daya manusia.
Pendidikan selain mempengaruhi
berbagai variabel sosial juga mempengaruhi produktivitas pekerjaan. Survey dari
beberapa negara berpendapatan rendah menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara
tingkat pendidikan dengan efisiensi produksi pertanian. Pada masyarakat yang
berpendidikan ada peningkatan efisiensi
produksi sebesar 7% dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan.
Peningkatan pendidikan juga
mempermudah akses dalam mencari pekerjaan. Pendidikan menjadi tujuan hampir
untuk semua keluarga di Indonesia. Pendidikan menjadi escalator sosial dimana
melalui pendidikan status sosial seseorang mampu dikatrol menuju status yang
diharapkan. Pentingnya pendidikan membuat hampir semua orang mengalokasikan
semua sumber dayanya untuk menyekolahkan penerus/generasi muda dengan menjejali
mereka dengan pendidikan yang berkualitas. Kecenderungan tersebut juga
dibarengi dengan semakin banyaknya penyedia pendidikan baik dari dalam maupun
luar negeri (via lisensi) yang menawarkan program pendidikan unggulan mulai
dari pre-school (PAUD) hingga perguruan tinggi. Masing-masing lembaga tersebut menawarkan
sarana dan prasarana belajar yang lengkap, guru yang kompeten dan lingkungan
pembelajaran yang nyaman plus lingkungan sosial (pertemanan) yang seimbang.
Seimbang disini mereka menawarkan gaya hidup, level status sosial yang sama dan
berimbang antar siswa (homogen). Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan
tersebut juga menawarkan pendidikan yang berbasis pada etnis atau agama
tertentu untuk menyasar orang tua yang idealismenya masih kuat terutama yang
ingin anaknya tumbuh sejak kecil dengan metode belajar yang berkualitas plus
ada didikan agama eksklusif yang orang tua inginkan.
Hampir sebagian besar
lembaga-lembaga pendidikan tersebut (sekolah) menarik kontribusi yang cukup
besar (mahal) untuk fasilitas dan kualitas yang mereka tawarkan. Pada akhirnya
kesan eksklusif menjadi lekat dengan dunia pendidikan. Siswa yang berasal dari
golongan ekonomi mapan bisa memilih dimana mereka akan sekolah, sebaliknya
siswa dari golongan menengah bawah pada akhirnya tidak akan punya pilihan.
Inilah yang memunculkan gejala eksklusifitas pendidikan karena tidak semua
anak/siswa dapat bermain, belajar bersama tanpa ada sekat status sosial, etnis,
ras, maupun agama. Akhirnya eksklusifitas justru akan melahirkan diskriminasi.
Gejala kemunculan sekolah eksklusif
di berbagai wilayah telah tampak. Fenomena ini menarik untuk dilihat bukan
dalam kapasitas untuk mempertanyakan kualitas sekolah-sekolah tersebut tetapi
lebih melihat pada akibat jangka panjangnya pada perkembangan siswa dan
kehidupan bermasyarakat yang secara tidak langsung akan memagari siswa-siswa
ini perspektif yang diajarkan di kelas dan tidak bisa melihat perspektif yang
berbeda, sehingga ada kemungkinan akan melahirkan konflik, pertentangan,
gesekan karena ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan yang
heterogen.
Homogenisasi pendidikan kemudian
diartikan sebagai keseragaman, harmonisasi yang ‘dipaksakan’, kesamaan,
kesebandingan, sesuatu hal yang memang dibuat sama dan seragam dalam dunia
pendidikan, termasuk didalamnya kesamaan, keberimbangan status sosial siswa dan
orang tuanya, kesamaan agama siswanya hingga kesamaan etnis siswanya.
Kesemuanya tersebut mewujud dalam sekolah-sekolah yang berbasis pada status
(prestise)/education francise, dan sekolah berbasis agama, baik tingkat dasar
maupun tingkat atas. Homogenisasi disini sama artinya diskriminasi terhadap
siswa yang berbeda status sosial, agama atau etnis. Pada akhirnya sekolah yang
homogen menjadi sama dengan sekolah eksklusif. Gejala homogenisasi inilah yang
kemudian menjadi ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia.
Tahun 2020 ini merupakan gerbang
awal generasi milenal dan generasi alfa akan berkembang menuju kepada progres karir
dengan segala sesuatu serba digital (Revolusi Industi 4.0). Semua kegiatan
diarahkan dalam financial technology,
ecommerce, big data, artificial intelligence, e-learning, dan seakan-akan
memberikan surga dunia yang serba hingar bingar. Kehidupan di era teknologi
digital ini banyak memangkas atau menghilangkan kompetensi individu. Dimana
semua korporasi akan mulai menggunakan robot dalam proses produksi. Hal ini
yang menjadi salah satu pendorong bahwa pentingnya soft skills, attitude, dan
karakter seseorang.
Dengan semangat HARDIKNAS di Tahun 2020
selama pandemi COVID-19 ini, Kemendikbud mengembangkan tema HARDIKNAS “Belajar
dari COVID-19” sebagai bentuk semangat juang dan kekuatan daya psikologis untuk
siap menghadapi situasi darurat percepatan penanganan COVID-19 segera hilang
dan berlalu. Instruksi pembelajaran daring ini sebagai bentuk ikhtiar dari guru
atau pendidika melaksanakan work from
home dan proses penerimaan informasi peserta didik untuk belajar dari rumah
saja (learning from home).
Dunia pendidikan saat ini sedang
mengalami transisi dari proses belajar konvensional menuju pembelajaran daring
(online/e-learning/distance learning), sehingga semua pendidik berlomba-lomba
untuk mengemas proses pembelajaran dengan media yang kreatif dan inovatif
berbasis teknologi digital.
Tren kedepannya dunia pendidikan akan
menghadapi bagaimana proses pengembangan pendidikan karakter, implementasi
pendidikan kedamaian di Indonesia dan tentunya pendidikan berbasis teknologi
digital dengan segala perubahan dan inovasi.
Program pengembangan pendidikan
karakter akan terus digalakkan disetiap satuan pendidikan dari dikdasmen hingga
perguruan tinggi. Dengan inovasi dari mendikbud sesuai arahan bahwa UN
dihapuskan dan munculnya asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survey karakter.
Maka penulis kiranya penting menguraikan pendekatan komprehensif untuk
meningkatkan pendidikan karakter. Thomas Lickona menyarankan suatu
pendekatan pendidikan karakter yang komprehensif, melibatkan berbagai komponen
terkait dan berbagai latar (setting). Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide
besar” berikut:
1.
Sepanjang
sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membantu
orang-orang menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi baik.
2.
Baik”
dapat didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai moral yang memiliki kemanfaatan
objektif—nilai-nilai yang mengakui martabat manusia dan mempromosikan kebaikan
individu dan masyarakat.
3.
Dua
nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik yang dapat diajarkan: respect and responsibility (penghargaan
dan pertanggungjawaban).
4.
Penghargaan berarti menunjukkan rasa
hormat terhadap nilai seseorang atau sesuatu.
Ini mencakup menghargai diri sendiri, menghargai hak-hak dan martabat
semua orang, dan menghargai lingkungan
yang membuat semua kehidupan berkelanjutan. Penghargaan adalah sisi perlarangan dari
moralitas; ia menjaga kita untuk tidak menyakiti apa yang seharusnya kita
hargai.
Pertanggungjawaban adalah sisi aktif dari
moralitas. Ia mencakup melaksanakan
kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban-kewajiban
kita, kontributif terhadap komunitas kita, mengurangi penderitaan, dan
membangun dunia yang lebih baik.
5.
Mendidik
penghargaan dan pertanggungjawaban—membuat hal-hal ini menjadi nilai-nilai
operatif dalam penghidupan para siswa—adalah mendidikkan karakter. Karakter terdiri
atas:
a.
pengetahuan moral (kesadaran moral,
menegetahui nilai-nilai moral, melihat dengan sudut pandang orang lain,
penalaran moral, pembuatan putusan, dan pengetahuan diri)
b.
perasaan moral (hati-nurani, harga-diri,
empati, mencintai kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati)
c.
tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan
kebiasaan)
6.
Dihadapkan
dengan struktur sosial yang memburuk, sekolah-sekolah yang berharap membangun
karakter harus menyediakan pendekatan
yang komprehensif, yang merangkul banyak
hal, terhadap pendidikan nilai yang menggunakan semua tahap kehidupan
sekolah untuk membantu perkembangan karakter.
Ini mencakup 12 strategi ruang kelas dan sekolah, yang tertuju pada
penciptaan nilai-nilai penghidupan penghargaan dan pertanggungjawaban dalam karakter
para siswa.
Dalam ruang kelas, suatu pendekatan komprehensif menuntut guru untuk melakukan inovasi
pembelajaran sebagai berikut :
1.
Bertindak
sebagai pemerduli (caregiver, pemberi
kepedulian, perawat), model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan cinta
dan penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku prososial, dan
mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti.
2.
Menciptakan
sebuah komunitas moral di kelas, membantu para siswa untuk saling kenal,
menghargai dan peduli antara siswa yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan
keanggotaan yang berharga dalam kelompok.
3.
Mempraktikkan
disiplin moral, menggunakan penciptaan dan penegakan aturan-aturan sebagai
peluang-peluang untuk menumbuhkan penalaran moral, kontrol-diri, dan
penghargaan terhadap orang lain.
4.
Menciptakan
sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis, melibatkan para siswa dalam
pembuatan-putusan dan berbagi tanggung jawab untuk membuat ruang kelas menjadi
tempat yang baik untuk berada dan belajar.
5.
Mengajarkan
nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan mata-mata pelajaran sebagai wahana
untuk menkaji isu-isu etis. (Ini secara
serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika kurikulum menangani
kepedulian lintas-jenjang kelas seperti pendidikan seks, anti narkoba, alkohol,
dan kekerasan remaja.)
6.
Menggunakan
pembelajaran kooperatif untuk mengajari anak-anak dengan watak dan keterampilan
tolong-menolong dan bekerja sama.
7.
Mengembangkan
the “conscience of craft” dengan
menumbuhkan tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka terhadap
nilai dari belajar dan kerja. ( The “conscience of craft”, nurani
tentang kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan dorongan untuk kerja
sebaik-baiknya.)
8.
Mendorong
refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis, diskusi, pembuatan-putusan,
dan debat.
9.
Ajarkan
pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk
memecahkan konflik dengan cara yang tidak memihak dan tanpa kekerasan.
Suatu pendekatan yang komprehensif menuntut sekolah untuk:
10. Menumbuhkan kepedulian ke
luar ruang kelas, menggunakan model-model peranan yang memberi inspirasi dan
peluang-peluang untuk sekolah dan pengabdian komunitas untuk membantu para
siswa belajar peduli dengan memberi kepedulian.
11. Menciptakan budaya moral
positif di sekolah, mengembangkan seluruh lingkungan sekolah (melalui
kepemimpinan kepala sekolah, disiplin pada tataran sekolah, suatu kepekaan
sekolah terhadap komunitas, pemerintahan siswa yang demokratik, suatu komunitas
moral di kalangan orang dewasa, dan waktu untuk menangani kepentingan-kepentingan
moral) yang mendukung dan meningkatkan nilai-nilai yang diajarkan di
ruang-ruang kelas.)
12. Rekruitasi orang tua dan
anggota komunitas sebagai mitra dalam pendidikan nilai, dukung orang tua
sebagai guru moral pertama anak; mendorong orang tua untuk mendukung sekolah
dalam upaya-upaya menumbuhkan nilai-nilai yang baik; dan mengupayakan bantuan
komunitas (yakni, masjid, gereja, biara, perusahaan, dan media) dalam
memperkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan untuk diajarkan oleh sekolah.
Nilai-
nilai yang harus diajarkan sekolah. Lickona (1992) memulai uraiannya tentang
pendidikan karakter di sekolah dengan dua prinsip berikut ini:
1. Terdapat nilai-nilai yang
bermanfaat secara objektif, disepakati secara universal yang harus diajarkan
sekolah-sekolah di tengah masyarakat yang plural; dan
2. sekolah-sekolah hendaknya
tidak hanya memapari para siswa dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga
membantu mereka memahami,
menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Adapun yang dimaksudkannya dengan nilai, ada dua jenis: moral dan nonmoral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan
ketidakmemihakan mengandung kewajiban.
Kita merasa wajib memenuhi jani, membayar hutang, menyayangi anak, dan
tidak memihak dalam menangani suatu perkara.
Nilai moral mengatakan apa yang harus
dilakukan. Kita harus terikat pada
nilai-nilai moral bahkan ketika kita tidak menyukainya.
Nilai-nilai nonmoral tidak mengandung kewajiban yang
demikian. Nilai-nilai ini mengekspresikan
apa yang kita inginkan atau sukai untuk kita lakukan. Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan
mendengarkan musik klasik, misalnya, atau membaca sebuah novel yang bagus.
Tapi jelas adanya saya tidak terkena kewajiban untuk melakukannya.
Nilai-nilai moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut
menjadi dua kategori: universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal – seperti
memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai penghidupan mereka,
kebebasan, dan kesetaraan – mengikat semua orang dimanapun karena mereka
nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental dan martabat manusia. Kita memiliki hak dan bahkan suatu kewajiban
untuk menuntut semua orang berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral universal
tersebut.
Harapannya sosok atau profil
kompetensi peserta didik sebagai generasi emas adalah individu yang memiliki
karakter tangguh, unggul dan kuat serta siap menghadapi perubahan dan inovasi
teknologi digital.
Pertumbuhan teknologi digital
memicu perkembangan di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan teknologi
internet, memicu perubahan perilaku manusia dalam bidang komunikasi, bisnis dan
pendidikan. Meski banyak nilai positif dari pertumbuhan teknologi
internet. Namun, sisi negatifnya juga mengancam. Misalnya, komunikasi yang
serba terbuka, massifnya berita fitnah dan kencangnya konten-konten hoax di
media sosial.
Era digital, menyediakan
berbagai ancaman bagi generasi muda. Salah satunya, adalah terkikisnya pondasi
karakter bangsa yang good
character and smart of thinking. Mengapa hal ini terjadi? Era 4.0
menyediakan alternatif komunikasi gaya baru, yaitu melalui media sosial. Dengan
berselancar di dunia maya, banyak pihak merasakan nyaman. Hanya dengan bermodal
kuota dan ponsel pintar, kita sudah bisa berselancar di dunia maya, menjelajahi
berita. Berbagai kemudahan itu, di sisi lain menghadirkan ruang disrupsi.
Salah satu tantangan yang
terjadi adalah, disrupsi di bidang pendidikan (khususnya) karakter. Teknologi
era digital memberikan kompensasi bagi seseorang. Bahkan dalam proses belajar
mengajar pun, seorang siswa kadang tidak perlu bertatapan dengan guru.
Sayangnya, hal ini menjadi satu ancaman, yakni terjadi proses reduksi
pendidikan. Nilai-nilai etika dan sopan santun memiliki predisposisi yang lebih
besar untuk luntur.
Di era disrupsi, di mana
segala hal berubah dengan cepat, anak-anak harus dibekali dengan kemampuan
literasi digital. Karena anak-anak era kekinian banyak bersinggungan dengan
internet, maka literasi digital menjadi salah satu alternatif yang paling
mungkin untuk membangun pondasi pendidikan karakter era kekinian. Pada era
digital, pembelajaran pun sudah beralih dari face
to face menjadi e
learning. E-school News (2009) mencatat bahwa beberapa perusahaan
teknologi seperti Verizon, Dell, Apple dan Microsoft mendukung pendanaan
e-learning, dimana dunia pendidikan pun harus ikut beralih ke era digital.
Literasi digital dapat
dijadikan salah satu sarana membentuk karakter anak bangsa milenial melalui
tradisi membaca di dunia maya. Literasi digital merupakan sebuah hal baru yang
perlu ditradisikan agar anak bangsa mencintai membaca, mampu memilih informasi
tepat, dan membangun informasi yang bersifat membangun (perdamaian).
Literasi digital merupakan
salah satu bagian dari literasi media digital. Kurniawati dan Baroroh (2012) menyebutkan
bahwa literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam
menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,
mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun
pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat
berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Literasi digital
memungkinkan pola pendidikan karakter bagi generasi milenial, dengan cara
terbiasa mengumpulkan informasi dan mengelolanya secara efektif. Melalui
pembiasaan mengasah keterampilan literasi digital, anak-anal milenial dapat
belajar bagaimana cara memiliki karakter damai. Mengelola informasi, tidak
mentah menerima hoaks, dan membangun pengetahuan baru yang lebih efektif,
sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perdamaian dan persatuan bangsa.
Sebelum anak diterjunkan
kepada literasi digital, penting bagi setiap keluarga membekali anak
keterampilan calistung dan pendidikan kematangan emosi. Ketika anak sudah
memiliki kecerdasan emosi yang baik, dipadu dengan keterampilan calistung yang
optimal, maka anak-anak dapat berselancar di dunia maya tanpa mudah terhasut
ujaran kebencian. Sebaliknya, harapannya mereka dapat menjadi agen perdamaian
di dunia maya. Keluarga dan sekolah merupakan pendidik anak yang utama.
Keluarga harus mampu membekali nilai-nilai kesopanan, kearifan, toleransi, dan
perdamaian.
Sands Casino Online Review
BalasHapusReview of deccasino Sands Casino's online casino. Learn how you can claim a free bonus, learn how to deposit and withdraw 메리트 카지노 쿠폰 money, and claim an exclusive bonus.Mobile casino · Withdrawal methods · Live casino septcasino